Kala Takhta ”Sang Raja” Terancam
Persaingan menuju Roland Garros, Paris, berlangsung ketat, hingga takhta ”Raja Lapangan Tanah Liat” milik Rafael Nadal pun terancam.
Ada yang berbeda menjelang berlangsungnya puncak persaingan tenis di lapangan tanah liat musim 2019, Perancis Terbuka, 26 Mei-9 Juni. Persaingan menuju Roland Garros, Paris, berlangsung ketat, hingga takhta ”Raja Lapangan Tanah Liat” milik Rafael Nadal pun terancam.
Ancaman terhadap Nadal terlihat sejak turnamen-turnamen pemanasan menuju Perancis Terbuka berlangsung pada April. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia memulai penampilan pada Monte Carlo Masters, turnamen yang telah 11 kali dijuarainya.
Datang sebagai juara bertahan, petenis Spanyol itu terhenti pada semifinal, kalah dari Fabio Fognini (Italia) yang akhirnya menjadi juara. Nadal resah bukan karena kalah semata, melainkan karena penampilannya sangat buruk.
Dia mencoba memperbaiki hasil itu pada turnamen berikutnya, ATP 500 Barcelona, yang juga telah memberinya 11 gelar juara. Kali ini, status juara bertahannya lepas setelah dihentikan penampilan gemilang Dominic Thiem yang juga akhirnya menjadi juara.
Sejak 2018, Thiem adalah pesaing berat Nadal di turnamen tanah liat. Setelah menembus semifinal Perancis Terbuka 2016 dan 2017, dia lolos hingga ke final Perancis Terbuka pada musim lalu, sebelum dihentikan Nadal.
Di Madrid, giliran Stefanos Tsitsipas yang menghentikannya di semifinal. Petenis Yunani itu meraih kemenangan pertama atas Nadal dari empat pertemuan. Dia melakukannya di hadapan publik yang mendukung Nadal dan pada turnamen Masters 1000. Novak Djokovic menjadi juara pada turnamen ini.
”Menit terakhir” menjelang Perancis Terbuka, barulah Nadal mendapat gelar pertama pada 2019 dari Roma Masters, 12-19 Mei. Rasa percaya dirinya tumbuh, apalagi gelar didapat setelah mengalahkan Djokovic, juara tiga Grand Slam terakhir, di final.
”Pada akhirnya, saya juara. Ini sangat berarti menjelang Grand Slam. Saya senang bisa tampil baik, apalagi bisa mengalahkan Novak. Sekarang, tinggal melanjutkan apa yang sudah saya lakukan,” komentar Nadal.
Baca juga: Momentum Nadal Pada ”Menit Terakhir”
Jika gagal di Roma, dia pun akan dibayang-bayangi hasil pada 2015. Itu menjadi satu-satunya musim, sejak 2005, ketika Nadal tak mendapat satu gelar pun dari turnamen tanah liat yang dikuasainya sejak kecil. Di Perancis Terbuka, dia dihentikan Djokovic pada perempat final.
Meski tak sedominan musim lalu (tiga kali juara sebelum Perancis Terbuka), Nadal tetap dinilai sebagai favorit juara di Roland Garros tahun ini. Dia memimpin daftar indeks kemenangan di tanah liat sepanjang karier dengan 91 persen. Itu dipertegas dengan statistik 86 kali menang dan 2 kali kalah (98 persen kemenangan) di Perancis Terbuka.
”Sudah pasti, Nadal favorit nomor satu di Roland Garros,” kata Djokovic setelah dikalahkan Nadal di Roma.
Pendapat serupa dikemukakan Paul Annacone yang pernah melatih Roger Federer pada 2010-2013. ”Rafa selalu menjadi favorit di Roland Garros. Selanjutnya ada Novak, lalu Dominic Thiem. Setelah itu, Anda bisa memasukkan nama lain, termasuk Roger,” tutur Annacone.
Federer kembali ke turnamen tanah liat, termasuk Perancis Terbuka, sejak terakhir kali tampil di Roma Masters 2016. Annacone menilai, meski level permainan ”rata-rata” Federer sedikit menurun, dia yakin juara Perancis Terbuka 2009 itu masih bisa meningkatkannya.
Hasil yang diperoleh dalam masa pemanasan, untuk atlet yang hampir tiga tahun tak bertanding di tanah liat, terbilang lumayan. Dia mencapai perempat final di Madrid dan Roma.
Rivalitas Nadal-Djokovic
Gelar juara Roma Masters bisa saja menempatkan kembali Nadal sebagai salah satu favorit juara Perancis Terbuka. Namun, perjalanannya bisa jadi tak akan semulus musim lalu ketika Nadal meraih Coupe des Mousquetaires, trofi juara tunggal putra Perancis Terbuka, untuk ke-11 kali.
Nadal tertinggal dari Djokovic dalam indeks kemenangan di tanah liat musim ini, meski sama-sama memperoleh satu gelar juara. Nadal 14 kali menang dari 17 pertandingan (82,3 persen), sementara Djokovic dengan perbandingan 11-2 (84,6 persen).
Hasil yang dicapai Djokovic juga tak buruk. Jago di lapangan cepat, rumput, dan keras, petenis berusia 31 tahun ini bisa beradaptasi dengan baik di lambatnya lapangan tanah liat.
Dia 14 kali menjuarai turnamen tanah liat, termasuk Grand Slam Perancis Terbuka 2016. Djokovic juga tujuh kali mengalahkan Nadal di tanah liat dari 28 kemenangan yang dia peroleh.
Awal musim 2019, ancaman dari Djokovic terlihat di Melbourne Park, Australia. Setelah didera cedera paha menjelang akhir 2018, Nadal seperti telah kembali pada permainan terbaiknya. Menuju final Australia Terbuka, dia tak kehilangan satu set pun dalam enam pertandingan. Dia juga datang dengan servis lebih kuat.
Namun, ketika Djokovic mulai mematahkan servisnya dalam set pertama final, sejak saat itu pula, pertandingan ”berakhir”. Usaha terbaik Nadal untuk mempersulit Djokovic selalu direspons dengan lebih baik. Djokovic membuat Nadal tak berkutik hingga meraih gelar Grand Slam ketiga beruntun, setelah Wimbledon dan AS Terbuka 2018, dengan kemenangan, 6-3, 6-2, 6-3.
Baca juga: Mereka yang Berjuang sejak Kualifikasi
Komentator ESPN, Brad Gilbert, menilai, Djokovic punya peluang menjuarai Perancis Terbuka. Apalagi, dia akan terdorong oleh motivasi menjadi tunggal putra pertama yang dua kali menjuarai empat Grand Slam secara beruntun. Dia pernah melakukannya pada Wimbledon 2015 hingga Perancis Terbuka 2016.
”Novak bisa juara, namun tidak boleh dilupakan bahwa Rafa selalu tahu cara menemukan permainan terbaiknya di Paris. Kita tak akan tahu hasilnya hingga mereka bertemu di final. Ada banyak faktor yang akan memengaruhi hasilnya, termasuk cuaca pada hari itu dan seberat apa mereka menjalani semifinal,” kata Gilbert dalam majalah Tennis edisi Mei-Juni 2019.
Statistik penampilan Thiem pada 2019, yang piawai bermain di tanah liat, berada di bawah Djokovic dan Nadal dengan sembilan kali menang dari 12 pertandingan (75 persen). Namun, petenis Austria berperingkat keempat dunia ini telah menunjukkan akan menjadi pesaing berat Nadal di Roland Garros.
Dari 12 pertemuan, 11 di tanah liat, Thiem menang empat kali. Salah satu kemenangan didapat pada pertemuan terakhir, semifinal ATP Barcelona, April.
Prestasinya di Roland Garros juga meningkat. Menjalani debut pada 2014, Thiem melaju ke semifinal pada 2016 dan 2017. Musim lalu, dia menantang Nadal di final.
Dengan penampilan itu, Thiem memiliki modal untuk menjuarai Grand Slam pertamanya di Roland Garros. Dari pengalaman 2018, yang dia butuhkan adalah kemampuan mengatasi tekanan mental tampil di final Grand Slam.
Mental petenis muda
Faktor mental pula yang masih menjadi kelemahan petenis-petenis next generation seperti Alexander Zverev (22 tahun) dan Tsitsipas (20) dalam menghadapi persaingan level tinggi. Sebagai petenis muda terbaik—saat ini berperingkat kelima dunia—Zverev menjuarai dua turnamen Masters 1000 pada 2017, di Roma dan Toronto. Dia menambah gelar itu dari Madrid Masters 2018.
Akan tetapi, petenis Jerman keturunan Rusia itu masih kesulitan menghadapi tekanan tampil di ajang Grand Slam. Sejak debut pada Wimbledon 2015, dia baru sekali mencapai perempat final, yaitu pada Perancis Terbuka 2018. Pada enam turnamen pemanasan Perancis Terbuka musim ini, hasil terbaiknya hanya perempat final di Madrid.
Mantan petenis Ivan Lendl pernah mengatakan, petenis-petenis muda seperti Zverev belum memiliki bekal yang cukup untuk menjuarai Grand Slam. Tampil pada turnamen level tertinggi ini menuntut konsistensi permainan level tinggi dalam tujuh pertandingan selama dua pekan. Itu tak hanya mensyaratkan kekuatan fisik dan kemampuan teknik, tetapi juga mental baja menghadapi tekanan.
Tsitsipas, yang mencapai peringkat keenam dunia sejak pekan ini, berpengalaman mengalahkan ”Big Three” (Djokovic, Nadal, Roger Federer). Tetapi, dia belum bisa melakukannya dalam satu turnamen.
Tsitsipas merasakannya ketika berhadapan dengan Nadal dan Djokovic, masing-masing di semifinal dan final Madrid Masters. ”Saat melawan mereka dalam pertandingan beruntun, Anda harus tampil hingga level maksimum. Mereka membuatmu menderita. Secara fisik pun sangat berat. Saya rasa itu menjadi tantangan besar saat menghadapi Big Three dalam satu turnamen,” tutur Tsitsipas.
Petenis peringkat keenam dunia itu menilai, keberhasilan Djokovic, Nadal, dan Federer berada di papan atas karena bisa konsisten tampil dalam level tinggi pada setiap turnamen. ”Itu tujuan saya, bisa konsisten dalam setiap turnamen,” katanya.
”Memenangi gelar juara, apalagi di Grand Slam, tak mudah. Anda harus fit dalam segala aspek: mental, fisik, dan diterjemahkan dalam permainan. Anda harus mengalahkan lawan dengan tipe berbeda, tak hanya big server, tak hanya petenis menyerang, dan tak hanya petenis baseliner. Anda harus mengalahkan semua secara beruntun,” tutur Federer, yang dengan 20 gelar menempatkannya sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak.
Persaingan terbuka di putri
Ketika Nadal, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, akan mendapat pesaing berat membawa pulang Coupe de Mousquetaires, persaingan di putri lebih terbuka lagi. Tunggal putri bahkan bisa dikatakan tak memiliki favorit juara untuk musim ini.
Salah satu indikatornya adalah dengan lahirnya juara baru hampir di setiap turnamen. Dari 21 turnamen dalam 15 pekan sejak awal musim, termasuk tujuh turnamen tanah liat, hanya tiga petenis yang masing-masing telah meraih dua gelar juara, yaitu Karolina Pliskova, Petra Kvitova, dan Kiki Bertens.
Juara bertahan Perancis Terbuka, Simona Halep, mencapai dua final, tetapi gagal membawa pulang trofi juara. Menjelang Perancis Terbuka, dia lolos hingga ke final di Madrid, tetapi gagal di babak kedua Roma. Kedua turnamen digelar dalam dua pekan beruntun.
Petenis nomor satu dunia, Naomi Osaka, ingin mengubah perspektif bahwa lapangan tanah liat tak bersahabat dengannya. Dalam pemanasan menuju Roland Garros, dia mencapai semifinal di Stuttgart serta perempat final Madrid dan Roma.
Namun, petenis Jepang yang menjuarai dua Grand Slam terakhir itu terkendala cedera lengan pada penampilan di Roma. Dia batal tampil di perempat final melawan Kiki Bertens karena cedera tersebut.
Angelique Kerber, yang berpeluang menciptakan ”Career Grand Slam”, juga terkendala sakit dan cedera. Career Grand Slam adalah istilah ketika seorang petenis meraih gelar lengkap empat Grand Slam: Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka. Kerber menjuarai Australia dan AS Terbuka 2016 serta Wimbledon 2018.
Baca juga: Osaka Makin Nyaman di Tanah Liat
Akan tetapi, menjelang Roland Garros 2019, persiapannya terganggu. Dia tersingkir pada perempat final WTA Stuttgart, April, karena kalah dari Bertens.
Saat tampil di WTA Madrid, sepekan berikutnya, Kerber sakit terserang virus dan cedera engkel. Dia pun mundur sebelum bertanding melawan Petra Martic pada babak kedua. Akibat cedera itu, petenis berusia 31 tahun tersebut tak tampil di WTA Roma pekan lalu.
”Sang Ratu” Serena Williams juga tampaknya tak akan terlalu menjadi favorit. Ambisinya untuk kembali ke puncak dunia memang tinggi, tetapi kembali pada penampilan terbaiknya setelah melahirkan berada di luar prediksinya. Serena mengatakan, mengembalikan kondisi fisik menjadi yang terberat. Dia pun menjadi rentan cedera.
Petenis yang saat ini berperingkat ke-10 dunia itu hanya memiliki satu pertandingan tanah liat menjelang Perancis Terbuka. Serena hanya memenangi babak pertama WTA Roma, setelah itu mengundurkan diri karena cedera lutut.
Persaingan terbuka menuju juara Perancis Terbuka ini menjadi perpanjangan dari kondisi ketika Serena tak lagi mendominasi persaingan tenis putri. Dia absen dari kompetisi setelah menjuarai Australia Terbuka, Januari 2017 hingga Maret 2018, karena hamil dan melahirkan putri pertamanya, Olympia.
Sejak masa itulah, juara-juara baru bermunculan hampir dalam setiap turnamen. Perancis Terbuka bahkan selalu dijuarai petenis berbeda sejak 2014. Bukan tak mungkin, hal itu akan terjadi lagi pada musim ini.