Soliditas Koalisi Dibutuhkan
JAKARTA, KOMPAS – Sinyal merapatnya Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasonal ke koalisi partai pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin menguat setelah rangkaian pertemuan antara Jokowi dengan elite kedua partai itu. Meski demikian, sikap politik Demokrat dan PAN yang selama ini terbiasa berbeda dari pemerintah dikhawatirkan bisa memengaruhi kekompakan di internal koalisi.
Untuk mengikat soliditas dan konsistensi berpolitik di internal koalisi, sejumlah partai pendukung pun mengusulkan perlunya kesepakatan atau kontrak politik di antara partai-partai.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid mengatakan, berkaca pada dinamika pengalaman berkoalisi saat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, koalisi yang terbentuk ke depan perlu terlebih dahulu menyolidkan diri, menentukan format koalisi, serta menentukan arah berpolitik ke depan, sebelum menambah anggota dari luar koalisi.
Seperti diketahui, Partai Amanat Nasional sempat menjadi partai pendukung pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Pada 2015, PAN yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, akhirnya bergabung sebagai partai pendukung pemerintah. Namun, setelah dua tahun bergabung, PAN lebih banyak berbeda sikap dengan pemerintah dan koalisi pendukungnya di DPR pada sejumlah isu-isu strategis.
Jazilul menilai, jika tidak ada format koalisi yang baku serta kesepakatan mengenai arah ke depan, koalisi pemerintahan yang terbentuk ke depan hanya besar dalam jumlah tetapi tidak solid dalam berpolitik.
“Perlu ada kesepakatan dulu, karena kali ini tantangannya berbeda, fakta politik juga berbeda. Saat ini, manajemen koalisi saja belum terbentuk. Itu perlu diperbaiki dulu sebelum mengajak yang lain bergabung,” katanya di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Saat ini, kekuatan politik pendukung pemerintah mendominasi dengan menguasai 349 kursi atau 60,7 persen dari total 575 kursi DPR. Kursi itu diduduki PDI-Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Meski kekuatan di DPR sudah dominan, Jokowi dan koalisi pendukungnya tetap berusaha menjalin komunikasi dengan sejumlah partai non-koalisi seperti Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Sejak pemungutan suara pada 17 April 2019 lalu, Jokowi tercatat beberapa kali bertemu dengan elite Demokrat dan PAN.
Dalam satu bulan terakhir, misalnya, Jokowi sudah dua kali bertemu Komandan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, putra SBY. Terakhir, keduanya bertemu pada 22 Mei 2019 lalu di Istana Bogor. Pada hari yang sama, Jokowi juga bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sebelumnya, Jokowi dan Zulkifli sudah sempat bertemu pada 24 April 2019 saat upacara pelantikan gubernur Maluku.
Rasa oposisi
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, saat ini partai-partai pendukung Jokowi-Amin belum bertemu untuk membicarakan format koalisi ke depan, termasuk memutuskan perlu tidaknya menambah Demokrat, PAN, atau partai lain, ke dalam koalisi. Ia meyakini, pada saatnya nanti, Jokowi akan mengajak partai-partai untuk bertemu secara multilateral dan memutuskan perlu tidaknya reposisi koalisi itu.
Menurutnya, hal yang penting adalah menjamin masuknya Demokrat atau PAN tidak akan mengganggu soliditas koalisi dari dalam. Demokrat dan PAN yang terbiasa menjadi partai non-koalisi pemerintahan perlu terlebih dahulu dipastikan bisa berlaku selayaknya partai pendukung pemerintah.
“Kami ingin koalisi tertib, ketika sudah menjadi anggota koalisi, bertindaklah demikian. Boleh mengkritisi, tetapi jangan berteriak di luar seperti oposisi, sebelum membicarakannya di internal koalisi. Kami akan sampaikan pada Pak Presiden, agar kalau pun mau menambah anggota koalisi, jangan sampai ada koalisi rasa oposisi. Kalau mau jadi oposisi, silakan di luar,” katanya.
Untuk menjamin soliditas koalisi, PPP mengusulkan agar partai-partai pendukung Jokowi-Amin ke depan membuat kesepakatan atau pakta politik secara tertulis yang mengikat.
“Dibuat aturan main yang jelas sebagai anggota koalisi. Bukan berarti koalisi harus selalu membebek apapun kebijakan pemerintah, tetapi ada etika dan mekanisme yang harus diperhatikan dalam mengkritik,” ujar Arsul.
Hal serupa pernah dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada periode keduanya, 2009-2014. Saat itu, SBY mengelola koalisi besar yang dinamis dengan kekuatan 75,5 persen. Namun, kontrak politik itu terbukti tidak efektif karena SBY dan Demokrat tetap sulit mengendalikan partai-partai koalisinya yang kerap bertingkah seperti oposisi di DPR.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate menilai, dalam berkoalisi, rasa saling percaya harus tercipta. Untuk itu, Demokrat dan PAN harus mampu menunjukkan kesediaan mereka berkomitmen menjadi anggota koalisi. Kesepakatan tertulis menurutnya tidak perlu dibuat selama kedua partai tersebut bisa menunjukkan konsistensi berpolitik.
“Kami tetap berpikir positif bahwa Demokrat dan PAN bisa menunjukkan konsistensinya. Komunikasi terus dijalin, pendekatan dengan semua partai perlu saling percaya dulu. Kalau tidak saling percaya, percuma saja berunding,” katanya.