Ketegangan hubungan antara AS dan Iran saat ini ibarat bom waktu yang bisa meletus kapan saja. Qatar, negara kecil di tengah kawasan panas Timur Tengah, dihadapkan pada dilema cukup pelik berkat kedekatan negara itu dengan AS ataupun Iran. Situasi ini menambah beban Qatar ketika konfliknya dengan empat negara Arab mitra AS yang memblokade dirinya belum berakhir.
Qatar, yang terletak di kawasan Teluk Persia dengan penduduk 2,6 juta jiwa adalah negara dalam posisi sangat dilematis akibat ketegangan hubungan AS-Iran saat ini. Pasca-blokade total oleh kuartet negara Arab (Arab Saudi, Mesir, Bahrian, dan Uni Emirat Arab) sejak Juni 2017, eksistensi Qatar sangat bergantung pada AS dan Iran.
Di Qatar kini terdapat pangkalan udara militer Al-Udeid, salah satu pangkalan udara militer AS terbesar di Timur Tengah. Keberadaan pangkalan udara militer AS di Qatar itu menjadi sandaran keamanan keluarga Al-Thani yang berkuasa di negara Teluk tersebut.
AS menempatkan lebih dari 10.000 personel pasukan dan lebih dari 100 pesawat tempur dari berbagai jenis, seperti F-16, F-15, dan helikopter Apache dalam berbagai variasinya, di pangkalan udara militer Al- Udeid. Bahkan, AS menempatkan pesawat pengebom B-52 yang dikirim ke Timur Tengah pada awal Mei lalu juga di pangkalan udara Al-Udeid.
Pesawat pengebom B-52 dikenal menjadi daya pukul utama tempur AS sejak perang Vietnam tahun 1960-an dan 1970-an hingga perang Kuwait tahun 1991, dan invasi AS ke Irak tahun 2003. Seandainya suatu saat pecah perang AS- Iran, baik terbatas maupun luas, Qatar menjadi garda depan daya pukul tempur AS terhadap Iran karena keberadaan pesawat pengebom B-52 di pangkalan udara militer Al-Udeid.
Hari Jumat (24/5/2019) lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui tambahan pasukan AS yang dikerahkan ke Timur Tengah. ”Kami ingin mendapat proteksi di Timur Tengah. Kami akan mengirim tentara yang relatif sedikit, kebanyakan pasukan pelindung. Jumlahnya sekitar 1.500 orang,” ujar Trump.
Pengerahan pasukan AS tambahan itu dikecam Iran. ”Meningkatnya keberadaan AS di kawasan kita sangat berbahaya dan ancaman bagi perdamaian dan keamanan nasional, serta harus dilawan,” kata Mohammad Javad Zarif, Menlu Iran, kepada kantor berita IRNA.
Menggandeng Iran
Selain memfasilitasi militer AS, dalam waktu yang sama, Qatar juga memiliki hubungan sangat baik dengan Iran. Bahkan, Qatar bergandengan tangan dengan Iran dalam menghadapi aliansi kuartet Arab, yakni Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA.
Iran membuka teritorial udaranya untuk maskapai penerbangan Qatar Airways setelah Bahrain dan UEA menutup teritorial udaranya terhadap Qatar Airways pasca-blokade oleh kuartet Arab. Kini, setiap akan menempuh penerbangan ke Eropa, Amerika, dan Afrika, Qatar Airways harus terbang melalui teritorial udara Iran terlebih dahulu sebelum berbelok ke arah barat menuju Eropa, Amerika, dan Afrika.
Qatar juga sering menggunakan pelabuhan Bandar Abbas di Iran untuk jalur transit ekspor- impor dari dan ke Qatar setelah Arab Saudi dan UEA menutup semua pelabuhan mereka bagi jalur transit ekspor-impor dari dan ke Qatar.
Inilah yang membuat posisi Qatar sangat sulit. Qatar sangat berutang budi kepada Iran yang banyak membantunya ketika Qatar diblokade kuartet Arab. Namun, Qatar juga tidak memiliki kekuatan politik dan militer untuk bisa mencegah AS menggunakan pangkalan udara militer Al-Udeid sebagai titik tolak serangan utama jika suatu saat AS menyerbu Iran.
Karena itu, tidak ada pilihan bagi Qatar saat ini kecuali berusaha dengan segala cara agar perang AS-Iran tidak pecah dan bahkan, kalau memungkinkan, tingkat ketegangan hubungan AS-Iran itu bisa diturunkan. Bagi Qatar, AS dan Iran adalah sama-sama negara sahabat.
Kini semakin santer berita bahwa Qatar berusaha mempertemukan AS dan Iran melalui berbagai jalur agar kedua negara berunding lagi untuk menurunkan ketegangan di Teluk Persia. Situs Israel, Debka, Selasa (21/5), melansir, perwakilan AS dan Iran kini berada di Qatar atau Irak untuk berunding dalam upaya menurunkan ketegangan di Teluk Persia.
Dialog
Ketua Komite Keamanan dan Luar Negeri di Parlemen Iran Heshmatollah Falahatpisheh, dalam akun Twitter-nya, beberapa hari lalu menyerukan digelar dialog AS-Iran di Qatar atau Irak untuk menurunkan ketegangan di Teluk Persia. Falahatpisheh menuduh ada pihak ketiga yang ingin agar perang AS-Iran segera pecah meski pejabat AS ataupun Iran sering menyatakan tidak ingin ada perang AS-Iran.
Iran kini melihat hanya Qatar atau Irak yang bisa bersikap netral dan secara politik diterima baik oleh AS ataupun Iran untuk menjadi tuan rumah dialog atau perundingan antara AS dan Iran secara terang-terangan ataupun rahasia.
Upaya mediasi AS-Iran juga tengah dilakukan Oman. Jumat lalu, Menteri Luar Negeri Oman Yusuf bin Alawi bin Abdullah melalui pernyataan mengungkapkan, bersama pihak-pihak lain Oman berupaya meredakan ketegangan AS- Iran. Oman pernah memainkan peran krusial saat membawa juru runding AS dan Iran duduk bersama dalam perundingan awal yang belakangan membuahkan kesepakatan nuklir Iran 2015.
Siapa pun mediatornya, jika sasarannya mencegah perang AS-Iran dan menurunkan ketegangan hubungan dua negara tersebut, hal ini tentu sejalan dengan misi Qatar.