Masyarakat berharap, berbagai gejolak di Pemilu segera diakhiri. Upaya Prabowo-Sandi mengajukan sengketa hasil Pilpres ke MK, diapresiasi.
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat telah lelah dengan berbagai gejolak yang terjadi di Pemilu 2019, dan berharap hal itu secepatnya diselesaikan secara damai, elegan dan sesuai dengan hukum. Terkait hal itu, rekonsiliasi antara dua pasangan calon yang berkontestasi di Pemilu Presiden berikut para pendukungnya, amat diharapkan segera terwujud. Langkah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden ke Mahkamah Konstitusi, juga diapresiasi.
Hal ini, terlihat dalam hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 22-23 Mei lalu dengan 649 responden di 17 kota besar.
Jajak pendapat dengan margin of error +/- 3,8 persen ini menunjukkan, sebanyak 74,58 persen responden menyatakan setuju dengan langkah Prabowo-Sandi mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, hanya 7,55 persen responden yang setuju dengan people power (aksi massa). Responden lainnya menjawab tidak tahu atau tak jawab.
Di saat yang sama, sebanyak 77,81 persen responden juga menganggap penting dan sangat penting adanya rekonsiliasi antara Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berikut para pendukung mereka. Sementara yang menganggap hal itu tidak penting hanya 6.78 persen responden.
Direktur Sekolah Pancasila Yudi Latif, Sabtu (25/5/2019) di Jakarta menuturkan, hasil jajak pendapat itu menunjukkan, mayoritas masyarakat sudah lelah dengan gejolak berkepanjangan akibat Pemilu 2019.
"Masyarakat ingin konflik terkait Pemilu segera diakhiri dengan sebaik-baiknya dan secepatnya. Tawaran bagi-bagi kekuasaan tak cukup untuk membangun rekonsiliasi arena akan cenderung merendahkan pihak tertentu," katanya.
Rekonsiliasi yang dibangun, lanjut Yudi, mesti didasarkan pada upaya untuk lebih memperbaiki proses demokrasi. Dengan demikian, apa yang sekarang terjadi juga dapat dipetik sebagai pelajaran.
Sementara itu, upaya Prabowo-Sandi mengajukan PHPU Presiden ke MK juga diapresiasi kuasa hukum Jokowi-Amin, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, upaya itu merupakan langkah yang tepat dan terhormat.
Apapun nanti putusan MK terkait perkara ini, wajib diterima dan dihormati semua pihak. Tidak ada mekanisme banding atas putusan MK.
Pelanggaran TSM
Dalam permohonan PHPU Presiden yang diajukan Jumat malam lalu, Prabowo-Sandi sebagai pemohon mendalilkan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pemilu Presiden. Ada lima bentuk pelanggaran yang mereka uraikan, yakni penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program/kerja pemerintah; ketidaknetralan aparatur negara, seperti polisi dan intelijen; penyalahgunaan birokrasi dan Badan Usaha Milik Negara; pembatasan kebebasan media dan pers; serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
“Kelima jenis pelanggaran dan kecurangan itu semuanya bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana, dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia,” demikian bunyi dalil pemohon.
Sebanyak 51 bukti diserahkan oleh Prabowo-Sandi terkait dengan dalil tersebut. Sebagian besar bukti yang diserahkan adalah file dan dokumentasi dari pemberitaan media massa.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengatakan, bukti-bukti yang diajukan ke MK masih akan diperbaiki dan ditambah kelengkapannya.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, menuturkan, dari praktik yang dilakukan MK selama ini dalam mengadili perkara pilkada, pelanggaran TSM bisa dirinci menjadi sejumlah indikator yang terukur.
“Terstruktur berarti kecurangan dilakukan penyelenggara pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan secara berjenjang untuk memenangkan calon tertentu. Sistematis artinya kecurangan dilakukan dengan perencanaan dan pengoordinasian yang matang. Adapun masif berarti pelanggaran dilakukan di mayoritas tempat pemungutan suara,” papar Bayu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, dugaan pelanggaran TSM pun sudah pernah diputus oleh MK dalam Pilkada Jawa Timur dan Kabupaten Kutawaringin Barat.
Dalam putusan Kotawaringin Barat, misalnya, MK menyatakan pelanggaran TSM terbukti karena setelah dicek sekitar 60 persen pemilih dijadikan relawan dari pemenang Pilkada. Dengan mengasumsikan 60 persen pemilih adalah relawan salah satu pasangan calon, bisa dipahami jika kemudian calon tersebut memenangi pilkada.
“Belajar dari putusan-putusan terdahulu, pemohon maupun termohon harus mampu memertahankan dalil masing-masing. Kekuatan bukti menjadi pertimbangan utama mahkamah dalam memutus dugaan TSM,” kata Veri.
Ketua MK Anwar Usman menjamin independensi hakim konstitusi dalam memeriksa PHPU Presiden. Desakan atau tekanan massa terkait dengan persidangan perkara itu tidak akan memengaruhi hakim. “Kami hanya mengkaji bukti yang dihadirkan di dalam persidangan,” katanya.