Suasana Lebaran selama dua dekade terakhir terasa berbeda. Iklan makanan dan busana semakin banyak, promo dan diskon menjamur di mana-mana. Menjelang hari raya, semua orang tampak sumringah dengan tas belanjaan di tangan.
”Kalau saat puasa perut kosong, Lebaran nanti giliran dompet yang kosong,” kata pengamat media dan budaya pop Idi Subandy Ibrahim saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Ia tertawa sendiri mendengar leluconnya tersebut. Kelakar Idi tadi berdasarkan pada kenyataan. Menjelang hari besar keagamaan, gerai perbelanjaan dalam jaringan (daring) atau online dan luar jaringan (luring) atau offline berlomba-lomba menawarkan promo yang paling menggiurkan. Akses untuk berburu diskon pun terbuka lebar. Sebut saja di festival belanja tingkat kota, obral tengah malam (midnight sale), hingga platform dagang elektronik (e-commerce).
Menurut Idi, berbelanja sama dengan luapan kebahagiaan masyarakat setelah berpuasa 30 hari. Embel-embel ”mumpung Lebaran” dan ”kapan lagi?” jadi pembenaran untuk konsumerisme musiman ini. Belum lagi, para angkatan kerja juga menerima tunjangan hari raya. Lengkap sudah godaan untuk berbelanja.
”Kita tidak bisa membatasi keinginan orang lain, terlebih jika mereka punya kemampuan. Namun, kita harus ingat bahwa agama mengajarkan kewajaran. Menurut saya, komersialisasi hari raya membuat Lebaran kehilangan kesederhanaannya sejak lama,” katanya.
Bisa dibilang, hari raya menjadi target komodifikasi oleh para pelaku pasar. Beragam produk dikemas dan dibuat berbalut tema Islami. Produk riasan, obat, hingga pasta gigi ditawarkan dengan idiom keagamaan demi menarik pembeli. Idi mengatakan, komersialisasi hari raya sejalan dengan meningkatnya kesadaran memperlihatkan lalu keberagamaan oleh masyarakat.
Hal ini ditambah pula dengan kemudahan berbelanja melalui gawai. Barang apa pun sekarang tersedia di platform digital. Membeli dan membayarnya juga mudah. Konsumen hanya butuh telepon pintar, butuh akses internet, dan sentuhan ujung jari.
Belanja di masa kini begitu instan dan mudah. Seolah tak ada lagi jarak memisahkan antara penjual dan pembeli.
Kapitalistik
Walaupun begitu, Idi sesungguhnya merasa khawatir akan fenomena konsumerisme musiman di hari raya ini. Euforia belanja juga mengindikasi tumbuhnya kesadaran beragama yang kapitalistik.
Dalam konteks Lebaran, ia menilai ada pergeseran makna Lebaran yang tidak disadari masyarakat. Konsumerisme membentuk masyarakat untuk selalu merasa kekurangan atau semacam rasa selalu membutuhkan barang baru.
Padahal, inti dari berpuasa selama Ramadhan adalah membatasi diri secara fisik dan mental. Selama bulan suci ini, umat Muslim diajak belajar berjarak dengan hal-hal duniawi dan mendekat pada nilai-nilai agama.
Ramadhan, katanya, juga berarti belajar menghilangkan egoisme. ”Momen tentang Lebaran dan kesederhanaan jadi hilang. Padahal, inti Lebaran adalah saling memaafkan dan bergembira dengan sesuatu hal yang tidak berlebihan,” kata Idi.
Di sisi lain, belanja Lebaran merupakan daya dongkrak pada perekonomian nasional dan daerah. Tak ada salahnya belanja lebih untuk hari raya.
Idi hanya mengajak untuk kembali menilik makna hakiki dari Lebaran. Apabila masa puasa 30 hari berhasil dilewati, bukankah seharusnya keinginan duniawi di hari-hari setelahnya bisa ditimbang dengan lebih bijak?