Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo baru pertama kali digelar di Indonesia. Dijajaki kemungkinan masuknya festival ini dalam kalender wisata nasional.
PADANG, KOMPAS Festival 10.000 Bakcang Ayam dan 10.000 Lamang Baluo digelar di Jalan Batang Arau, tak jauh dari Jembatan Siti Nurbaya, Kota Tua, Padang, Kamis-Jumat (6-7/6/2019). Pesannya, perbedaan ada untuk saling menguatkan, bukan dipertentangkan.
Bakcang ayam dan lamang baluo simbol baru dalam menggambarkan kerukunan dan persatuan antaretnis di Padang, khususnya etnis Tionghoa dan Minangkabau. Berbeda bentuk, rasa, dan asal, keduanya punya kesamaan. Bakcang ayam (Tionghoa) dan lamang baluo (Minangkabau) sama-sama berbahan dasar ketan, memiliki isi, dan dibungkus daun.
Kerukunan dan persatuan tampak selama festival. Pada momen pembagian 10.000 bakcang ayam dan 10.000 lamang baluo, pengunjung antusias berbaur tanpa sekat agama dan etnis. Total 20.000 penganan itu ludes dalam hitungan menit.
Akhirnya, saya bisa menjawab rasa penasaran terhadap bakcang. Di Pasar Tanah Kongsi banyak yang jual. Namun, isinya daging nonhalal. Sekarang saya bisa menikmati untuk pertama kali,” kata Tuti Sutrisna (60), warga Wisma Buana, Padang. Ia memboyong dua putri dan lima cucunya ke festival itu.
Sementara itu, Jason (17), peranakan China kelahiran Padang yang merantau ke Jakarta, menikmati kedua kuliner itu. Bersama ayah, ibu, dan saudaranya, ia menghadiri festival dan mengunjungi neneknya di Kota Tua. ”Semoga tahun depan diadakan lagi,” ujarnya.
Festival juga diisi pertunjukan seni dan budaya, di antaranya barongsai , silat, wushu, gambang, gamat, festival kuliner Padang, dan kolaborasi parade budaya Minang dan Tionghoa.
Akulturasi budaya
Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah mengatakan, berbaurnya berbagai etnis dalam festival itu memperlihatkan keharmonisan di tengah masyarakat. Meski berbeda, semua etnis di Padang mendapat tempat dan penghargaan sama. Kondisi itu berlangsung lama. ”Festival ini diharapkan semakin mengokohkan semangat kebersamaan, gotong royong, dan persatuan di Kota Padang,” kata Mahyeldi.
Menurut dia, proses akulturasi etnis Tionghoa dan Minangkabau di Padang sangat baik. Banyak warga peranakan China kelahiran Padang fasih berbahasa Minang dan menguasai kesenian. Sebaliknya, ada warga Minang yang menguasai kesenian Tionghoa. Sjofjan Abas (50), peranakan China kelahiran Padang, mengatakan, festival itu baik untuk mempererat persatuan antarsuku. Pria yang
fasih berbahasa Minang itu hidup damai di Padang. ”Kami berbaur dengan masyarakat Minang tanpa konflik,” ujarnya. Koordinator Kalender Event Kementerian Pariwisata Raseno Arya mengatakan, festival itu baru pertama kali di Indonesia. ”Kami upayakan masuk kalender wisata,” ujarnya. Menurut Ketua Panitia Festival Alam Gunawan T, diperkirakan ada 10.000 pengunjung dalam dua hari festival. (JOL)