Meskipun telah berulang kali ditertibkan, sejumlah petambang ilegal masih nekat beroperasi mengeruk pasir di Batam, Kepulauan Riau.
Oleh
Pandu Wiyoga
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Meskipun telah berulang kali ditertibkan, sejumlah petambang ilegal masih nekat beroperasi mengeruk pasir di Batam, Kepulauan Riau. Kerja sama lintas institusi dan sanksi tegas diperlukan agar kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang itu dapat segera dihentikan.
Lokasi tambang liar itu berada di dua wilayah, yaitu Kelurahan Tembesi di Kecamatan Sagulung dan Kelurahan Batu Besar di Kecamatan Nongsa. Letak kedua lokasi yang berdekatan dengan pesisir membuat sedimentasi tambang mudah terbawa ke laut dan mencemari lingkungan.
Warga Tembesi, Simanjutak (62), Jumat (7/6/2019), mengatakan, hampir setiap hari belasan truk lalu lalang dengan bebas di Jalan Trans-Barelang mengangkut pasir dari lokasi tambang ilegal itu. “Di belakang menara pemancar ada jalan tanah, masuk saja nanti kelihatan tempatnya,” ujarnya.
Salah satu lokasi tambang pasir ilegal di Tembesi itu luasnya lebih kurang tiga kali lapangan sepak bola. Tidak ada pohon. Bukit-bukit digunduli dan menyisakan tanah merah yang becek. Belasan rumah liar beratap seng dan berdinding papan berdiri berdempetan di sekitar lekukan jalan tanah yang memutari bukit gundul tersebut.
Salah satu petambang, Syahril (72), mengatakan, sudah menambang pasir di Tembesi sejak 2004. Pasir sebanyak satu bak truk ukuran sedang sekarang laku dijual seharga Rp 450.000. Dalam seminggu, sekurang-kurangnya ia bisa mengumpulkan pasir sebanyak empat bak truk ukuran sedang.
Aktivitas penambangan pasir di tempat itu sudah berulang kali ditertibkan Direktorat Pengamanan (Ditpam) Badan Pengusahaan (BP) Batam. Namun, tidak adanya sanksi hukum yang tegas membuat para petambang berani main kucing-kucingan dengan petugas.
Menurut Syahril, setelah terakhir kali ditertibkan pada Agustus 2018, aktivitas tambang di Tembesi sempat mandek sekitar dua bulan. Tadinya ada lima titik penambangan pasir ilegal di kelurahan itu, sekarang aktivitas petambang hanya terlihat di tiga lokasi di sebelah timur Jalan Trans-Barelang.
Meskipun begitu, kini pelan-pelan sejumlah petambang mulai berani kembali melakukan aktivitas ilegal itu lagi. “Lebih kurang ada 50 orang yang menambang pasir di sini. Kami sadar ini ilegal, tetapi kami tidak punya pekerjaan selain menjual pasir,” kata Syahril.
Ia menuturkan, lokasi tambang pasir liar di Tembesi terbagi ke dalam beberapa petak yang dikuasai 15 orang. Setiap pemilik petak tambang memiliki tiga sampai empat pekerja untuk menambang dan mengangkut pasir ke dalam truk. Para pekerja itu tinggal di rumah-rumah yang didirikan di sekitar lokasi tambang.
Sedimentasi
Letak lokasi penambangan pasir yang berada di kawasan hutan penyangga mengakibatkan volume air di Waduk Tembesi berkurang karena rusaknya daerah resapan. Selain itu, waduk menjadi dangkal dan daya tampungnya menurun karena sedimentasi tambang terbawa masuk aliran air saat hujan.
Kepala Seksi Pengamanan Hutan dan Patroli Ditpam BP Batam Wilem Sumanto menyatakan, aktivitas penambangan pasir itu membahayakan seluruh warga Batam. Pemenuhan kebutuhan air bersih di Batam bergantung pada Waduk Tembesi dan lima waduk tadah hujan lainnya.
Waduk Tembesi dibangun pada 2010 dengan membendung teluk di ujung tenggara Pulau Batam. Tujuannya agar krisis air di Batam bisa teratasi. Diperkirakan, pada 2020, waduk tersebut sudah bisa beroperasi memasok 600 liter air per detik bagi warga di Tanjung Uncang, Sagulung, dan Batu Aji.
“Kalau waduk rusak, dampaknya akan dirasakan semua warga Batam. Perlu sanksi tegas agar para petambang jera dan tidak kembali lagi. Untuk itu, butuh kerja sama lintas institusi,” ujar Wilem.
Wilem menambahkan, selain di Tembesi, petambang liar di Batu Besar kini juga kembali nekat beroperasi. Namun, dibanding Tembesi, tambang pasir ilegal di Batu Besar skalanya sudah jauh berkurang setelah terakhir kali ditertibkan pada 2018. Sebelumnya, luas lokasi penambangan lebih dari 45 hektar.