Di balik kesuksesan atlet, ada pelatih yang mencurahkan segenap tenaga, ilmu, dan perhatian mereka. Walau berkontribusi besar terhadap lahirnya atlet, kerap kali nama mereka kurang dikenal publik. Banyak pelatih tanpa nama telah menelurkan atlet berbakat hingga menjadi juara di kejuaraan internasional, seperti pelari 100 meter Lalu Muhammad Zohri.
Embun pagi baru saja menguap ketika Kompas tiba di Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Minggu (19/5/2019). Di salah satu rumah, seorang perempuan sedang menyapu halaman seluas hampir seperempat lapangan sepak bola, dengan pepohonan rimbun di sekelilingnya.
Perempuan bernama Rosida (47) itu menyapa ramah dan mempersilakan kami duduk di teras rumahnya. ”Ini aktivitas pagi saya setiap hari, olahraganya orang kampung,” ujar Rosida membuka percakapan di rumah, yang sebagian dindingnya tidak diplester.
Kesedehanaan Rosida tak ubahnya kondisi rumah, halaman, dan lingkungan di kampung itu. Siapa sangka, dari kesederhanaan dan kebersahajaan itu, Zohri mendapatkan ilmu pertamanya di dunia lari hingga akhirnya bisa menjadi sprinter terbaik nasional.
Rosida adalah guru olahraga yang menemukan bakat Zohri, ketika juara dunia U-20 2018 itu bersekolah di SMP Negeri 1 Pemenang, Lombok Utara. Dari Rosida, Zohri mendapat ilmu dasar lari yang membentuk kemampuan awalnya, sebelum berkembang menjadi pelari 100 m tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik, yang dicatatnya pada GP Jepang Terbuka 2019.
Kurang lebih delapan bulan Rosida melatih Zohri dengan penuh keterbatasan. Program latihan berasal dari ilmu yang diperoleh Rosida saat menjadi mahasiswi di Fakultas Pendidikan dan Kesehatan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram 1991-1995.
Rosida juga menularkan pengalamannya saat aktif sebagai pelari jarak menengah- jauh serta lompat jauh NTB pada 1990-an. ”Ilmu yang saya berikan kepada Zohri lebih banyak latihan koordinasi dan stamina. Latihannya cuma di halaman sekolah, pantai, dan bukit,” tuturnya.
Dari keterbatasan itu, Rosida mampu mengantar Zohri masuk ke Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) NTB, hingga atlet kelahiran 1 Juli 2000 itu menarik perhatian pelatnas PB PASI.
Di kala atlet bertinggi 172 sentimeter itu semakin populer, Rosida tetap sederhana, bersahaja, dan cenderung tidak dikenal. Belakangan, setelah sukses Zohri menjadi juara dunia U-20, Rosida mulai mendapat apresiasi dari pemerintah daerah, provinsi, pusat, dan swasta atas jasanya menemukan Zohri.
”Bagi saya, bisa melihat mereka berprestasi saja sudah luar biasa,” kata Rosida,
Dalam melatih, Rosida didampingi suaminya, Muhammad Ali (48). Ali juga guru olahraga sehingga bisa mencari bibit pelari dari sekolahnya, SMP Negeri 2 Tanjung, Lombok Utara. Suami-istri itu memberikan latihan tanpa pamrih kepada anak-anak berbakat yang kebanyakan dari keluarga kurang mampu secara ekonomi itu sejak 1999.
Selain Zohri, Rosida dan Ali menelurkan sprinter Sudirman Hadi (23) yang berlaga di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Terakhir, mereka mengorbitkan dua pelari remaja ke PPLP NTB, yakni pelajar SMP Negeri 2 Tanjung Lalu Agus Supianto (16) dan pelajar SMP Negeri 3 Bayan, Lombok Utara Mirawan (16).
PPLP NTB
Selain pelatih ”kampung” seperti Rosida dan Ali, pelatih di PPLP NTB juga tak terlalu dikenal. Padahal, kontribusi pelatih PPLP sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar latihan untuk para pelari.
Di PPLP NTB, atlet muda berlatih teknik start block, cara mengangkat paha, melangkahkan kaki, hingga penguatan/pembentukan otot. Para atlet yang cenderung mengandalkan bakat, kecepatan, dan stamina bisa berlari lebih baik.
Setelah atlet lulus dari PPLP dan melangkah menjadi atlet daerah maupun nasional, biasanya peran pelatih PPLP terlupakan. Ketika atlet sukses di tingkat nasional dan internasional, pelatih yang dikenal adalah pelatih pelatda atau pelantas. ”Itu biasa. Sorotan pasti tertuju pada atlet ketika meraih prestasi,” tutur pelatih sprint PPLP NTB Made Budiasa.
Pelatih PPLP tidak menuntut popularitas. Jika ada yang diinginkan, mereka berharap fasilitas latihan di PPLP ditingkatkan. Fasilitas atletik di PPLP NTB, Mataram, hanya lapangan seadanya yang sejak dibangun 1997 belum pernah direnovasi hingga saat ini.
”Batu bata merah yang jadi material lintasan lari sudah jadi tanah merah yang berdebu pekat saat kemarau dan becek berlumpur saat hujan,” ujar Made, pelari nasional pada era 2002-2010.
Walau hanya berlatih sesaat dengan pelatih-pelatih tak bernama itu, para atlet menganggap kontribusi pelatih tersebut sangat besar untuk perkembangan karir mereka. Menurut Zohri, pelatih seperti Rosida dan Ali adalah sosok yang pertama kali mengenalkan dirinya dengan dunia lari. Mereka dengan jeli mengasah bakat Zohri walaupun dengan fasilitas terbatas.
Pelatih PPLP NTB merupakan sosok yang mengenalkan dirinya dengan latihan teknik dasar, terutama cara start block, cara berlari yang benar, hingga pembentukan otot. Sedangkan pelatih pelatnas menjadi penyempurna bakat dan semua kemampuan dasar itu. ”Semua pelatih yang ada dalam karir saya, semuanya sangat berjasa untuk saya. Tanpa mereka, saya tidak akan pernah seperti ini,” tegas Zohri. (RUL/ZAK)