Jakarta Tak Lagi Tertutup bagi Migran
Pasca-Lebaran biasanya pemerintah kota-kota besar di Indonesia selalu dihantui munculnya arus balik kaum migran dari desa. Akan tetapi, pada 2019 tampaknya yang terjadi akan berbeda. Gubernur DKI Anies Baswedan secara terbuka menyatakan tak akan menutup pintu bagi migran yang hendak mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar. Berbeda dengan sebelumnya di mana Ibu Kota cenderung membatasi arus kaum migran, di 2019 Jakarta akan menerima masyarakat dari daerah yang ingin mengadu nasib ke Jakarta.
Marginalisasi
Pernyataan Gubernur DKI ini tentu angin segar bagi penduduk desa yang ingin mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar. Operasi Yustisi yang biasanya gencar digelar pasca-Lebaran, pada tahun ini tak akan lagi menjadi momok menakutkan bagi kaum migran.
Bagi penduduk desa, persoalan yang mereka hadapi bukan sekadar karena di tempat tinggal mereka lapangan kerja makin sulit dan tidak dimiliki aset produksi yang bisa diandalkan untuk bertahan hidup. Penyebab utama kenapa banyak penduduk desa nekat mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar adalah kesenjangan desa dan kota yang makin hari cenderung makin terpolarisasi.
Masyarakat desa yang mengalami proses marginalisasi, tak ada pilihan lain yang bisa diambil. Ketika desa-desa tak lagi bersahabat karena penetrasi industrialisasi yang cenderung tak ramah kepada profil tenaga kerja lokal, jalan satu-satunya mempertahankan hidup adalah mencari pekerjaan di kota besar atau sekalian mengadu nasib mencari kerja sebagai TKI/TKW.
Studi oleh penulis (2018- 2019) di sejumlah kota menengah di Jawa Timur, seperti di Kabupaten Tuban, Bojonegoro, Mojokerto dan sejumlah kabupaten lain, menemukan bagaimana industrialisasi yang masuk ke sejumlah desa, ternyata cenderung mismatch dengan kondisi tenaga kerja lokal. Industrialisasi yang selalu menuntut prasyarat tenaga kerja berkeahlian dalam banyak kasus tak cocok dengan kondisi tenaga kerja penduduk asli di desa.
Bisa dibayangkan, sebagian besar penduduk desa yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau setara SMP tentu sulit diharapkan dapat terserap dalam sektor perekonomian firma yang belakangan ini banyak berkembang di daerah. Ketika dunia industri cenderung menekankan efisiensi dan bersifat padat modal, lapangan kerja yang tumbuh pun akhirnya jauh dari sifat padat karya.
Kalaupun dunia industri yang masuk ke sejumlah desa berusaha melibatkan tenaga kerja lokal, biasanya hal itu sebatas pada program-program community development yang mereka kembangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa strategi yang dikembangkan perusahaan besar untuk mencegah munculnya resistansi masyarakat lokal adalah dengan mengandalkan pada peran program CSR atau program sosial lain yang sengaja dikembangkan perusahaan.
Dengan memberikan bantuan pembangunan infrastruktur publik di sekitar lokasi pabrik, program pembinaan dan pemberian bantuan modal usaha, diharapkan penduduk desa setempat tidak akan merecoki kelangsungan dan kegiatan produksi perusahaan.
Cuma, yang jadi masalah ketika penduduk desa yang terlibat dalam program CSR ini jumlahnya terbatas dan cenderung segmented, maka penduduk desa yang tak kebagian program bantuan biasanya tak punya banyak pilihan. Mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar adalah salah satu upaya yang terpaksa dilakukan agar tak jadi korban proses infiltrasi, invasi, dan suksesi kepemilikan aset lokal yang dilakukan dunia industri.
Perbedaan upah yang relatif mencolok antara desa-kota dan dorongan proses marginalisasi yang dialami penduduk desa adalah salah satu faktor utama yang menjadi penyebab kenapa arus migrasi dari desa ke DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia tidak pernah dapat dihentikan. Sepanjang kesenjangan desa-kota masih terjadi, dan industrialisasi yang merambah ke sejumlah daerah tak ramah terhadap tenaga kerja lokal, sepanjang itu pula arus urbanisasi akan tetap terjadi.
Wilayah hulu
Pemerintah dalam empat-lima tahun terakhir sebetulnya telah berusaha mengurangi kesenjangan desa-kota melalui berbagai program yang pro poor dan berusaha menempatkan masyarakat desa sebagai sentral pembangunan. Kebijakan pengucuran dana desa, pengembangan program petani digital, kucuran berbagai modal untuk pelaku UMKM, dan lain sebagainya adalah upaya yang dikembangkan pemerintah untuk mengurangi agar ketertinggalan desa tidak makin parah.
Dalam batas-batas tertentu, sejumlah desa di Tanah Air belakangan ini telah mulai tumbuh. Namun, harus diakui bahwa perkembangan yang terjadi di sejumlah desa masih cenderung elitis dan hanya dinikmati oleh sebagian kelas menengah ke atas desa yang menjalin kerja sama dengan kalangan pengusaha dari kota.
Di sejumlah daerah, kemajuan yang terjadi di desa-desa secara sosial harus dibayar mahal, karena pada saat yang sama, perubahan dan kemajuan yang terjadi ternyata diikuti dengan berkurangnya kepemilikan aset produksi milik masyarakat desa. Secara fisik benar bahwa desa-desa tampak berkembang, tetapi ketika dilacak tidak sedikit pemilik berbagai tempat usaha baru yang muncul di desa ternyata adalah milik pemodal dari kota menengah dan kota besar yang melakukan diversifikasi usaha ke daerah.
Sorensen & Okata (eds), dalam bukunya, Megacities, Urban Form, Governance, and Sustainability (2011) menyatakan sebuah negara yang menerapkan pola pembangunan yang bias urban, yang terjadi niscaya adalah penduduk desa yang kehilangan aset produksi cepat atau lambat akan makin tersisih dari arus kemajuan desa tempat tinggalnya sendiri sehingga yang realistik dilakukan adalah menjadi migran.
Pernyataan Gubernur yang tak lagi melakukan razia KTP bagi para pendatang, di satu sisi memang menggembirakan. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, kaum migran bagaimanapun berhak untuk mencari kerja di mana pun di Tanah Air. Memahami migran sebagai beban dan gangguan kota besar memang akan melahirkan program regulasi dan kebijakan pintu tertutup yang membatasi ruang gerak migran. Akan tetapi, dengan memahami migran sebagai potensi dan ikut andil membangun kota besar, bisa dipastikan akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka.
Sikap bijak menyikapi kaum migran tentu akan lebih bermakna jika pada saat yang sama diikuti dengan kebijakan pembangunan dan perkembangan industrialisasi yang lebih ramah kepada tenaga kerja lokal. Tanpa kebijakan yang tepat di wilayah hulu, jangan harap arus urbanisasi berlebih akan dapat dicegah atau dikurangi.
Bagong Suyanto Guru Besar dan Dosen Mata Kuliah Urbanisasi dan Perkembangan Megapolitan Program Pascasarjana Ilmu Sosial Fisip Unair