IMB di Pulau D Dikritik
Izin Mendirikan Bangunan atau IMB atas bangunan di Pulau D, menuai kritik karena dianggap belum memiliki peraturan daerah yang menjadi landasannya.
Izin Mendirikan Bangunan atau IMB atas bangunan di Pulau D, menuai kritik karena dianggap belum memiliki peraturan daerah yang menjadi landasannya.
JAKARTA, KOMPAS - Martin Hadiwinata, Ketua Harian Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia, Kamis (13/6/2019), mengatakan, IMB harus memiliki dasar hukum agar tidak menyalahi aturan.
Pernyataan Martin itu menyikapi keputusan Pemprov DKI menerbitkan IMB untuk 932 bangunan di Pulau D atau Pantai Maju, pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Bangunan itu terdiri dari 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor (rukan) yang sudah jadi, serta 311 rukan dan rumah tinggal yang belum selesai dibangun.
Pada 7 Juni 2018, Pemprov DKI menyegel bangunan di Pulau D karena belum berizin.
Sebelum IMB terbit, menurut Martin, harus ada peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta.
"Harusnya ada RZWP3K itu dulu karena mengatur peruntukan dan pemanfaatan sumber daya di pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk kawasan-kawasan yang ada di lahan reklamasi. Nah sampai sekarang kan belum ada aturan itu," katanya.
Dari kedua perda itu, imbuh Martin, baru bisa diproses izin lokasi ataupun izin lingkungan. "Sekarang, izin lingkungan, amdal, saja belum ada. Padahal, kawasan pemukiman di atas 30 atau 25 hektar wajib ada izin lingkungan. Sampai sekarang, setahu saya, izin lingkungan itu belum ada," katanya.
KNTI menilai, kalau yang menjadi dasar penerbitan IMB adalah Pergub tentang Panduan Rancang Kota, artinya Pemprov DKI memotong jalur aturan. "Menurut kami ini kemunduran dari Pemprov DKI dan ini patut dipertanyakan komitmen DKI terhadap pemberhentian reklamasi," tegas Martin.
Martin menegaskan, IMB harus dibatalkan.
Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta Iman Satria meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjelaskan alasan logis penerbitan IMB yang terkesan mendadak.
"Belum ada konsultasi sama sekali dengan kami. Kenapa ini terburu-buru diterbitkan? Padahal, masih ada dua rancangan peraturan daerah (RZWP3K dan RTRKS) yang belum selesai," tutur Iman.
Iman akan memanggil Gubernur DKI agar masalah ini menjadi terang di publik.
Baca juga : Sempat Menyegel, Pemprov DKI Izinkan 932 Bangunan di Pulau D
Pandapotan Sinaga, Sekretaris Komisi D bidang Pembangunan mempertanyakan dasar hukum penerbitan IMB itu. "Dasar pengeluaran IMB-nya apa, karena kan belum ada keluar perda zonasinya kok bisa tiba-tiba keluar IMB sementara dia membatalkan izin reklamasi yang lain," kata Sinaga.
Sinaga menegaskan, langkah Anies juga DPMPTSP ini menyalahi aturan. "Bagaimana dia bisa mengeluarkan IMB sedangkan IMB harus ada perda zonasinya apakah itu layak untuk pembangunan apakah fasos fasum jalur hijau atau apa makanya harus ada zonasinya perdanya," ujar Sinaga.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, menjelaskan, status hukum pulau-pulau reklamasi ini harus jelas, apakah legal atau ilegal. Begitu legal, baru dibuatkan raperda zonasi wilayah dan per pulau.
Tahap selanjutnya, pengembang memohon izin prinsip pengembangan kawasan per pulau yang diikuti dengan penyusunan rencana induk kawasan dan rencana tapak per pulau akan dirancang seperti apa.
"Namun prosedur itu semua telah dilanggar sejak awal, sehingga semua jadi terbolak balik. Karena menyalahi aturan, IMB wajib dibatalkan," tegas Nirwono.
Sikap pemda juga harus tegas terkait status bangunan yang sudah terbangun itu disegel atau dibongkar. "Kalau disegel berarti diberi kesempatan untuk mengurus IMB beserta dendanya. Sementara kalau dibongkar berarti bangunan harus diratakan. Dengan demikian harus ada kejelasan bagaimana ke depan pengembangan pulau-pulau reklamasi tersebut, dalam bentuk rencana induk dan rencana tapak yang sampai belum ada," kata Nirwono.
Berdasar Pergub
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam keterangan tertulis kemarin, mengatakan, dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan IMB untuk bangunan-bangunan di Pulau D adalah Peraturan Gubernur DKI Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E, Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Pergub itu pula yang menjadi landasan hukum bagi pengembang untuk membangun.
"Jika tidak ada pergub maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka, isi Pergub 206 Tahun 2016 itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," ujar Anies.
Ia menjelaskan, pada Juni 2018, penyegelan dilakukan karena Pulau D belum ada di RDTR DKI Jakarta. Namun, dia menuding, pemerintahan saat itu tetap mengeluarkan pergub yang mengacu pada Pasal 18 Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005. Dalam PP itu disebutkan, pemerintah daerah dapat memberikan persetujuan mendirikan bangunan pada daerah yang belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RDTR untuk jangka waktu sementara.
"Pemprov DKI sedang merevisi RDTR sehingga pemanfaatan ruang akan diatur dengan lebih pasti di revisi RDTR tersebut," tutur Anies.
Anies menjelaskan, saat ini, lahan reklamasi di Pulau D yang terpakai untuk bangunan kurang dari 5 persen, dari perjanjian awal sebesar 35 persen.
Perjanjian itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. Dalam aturan-aturan itu, pihak swasta berhak menggunakan 35 persen lahan hasil reklamasi.
"Faktanya, masih ada 95 persen kawasan hasil reklamasi yang masih belum dimanfaatkan. Itu yang akan kita tata kembali agar sesuai dengan visi kami untuk memberi manfaat sebesar-besarnya kepada publik," ujar Anies.
Misalnya, di Pulau D, akan dibangun jalur jogging, jalur sepeda, lapangan untuk olahraga, dan pelabuhan. Pemprov DKI juga menugaskan BUMD yakni PT Jakarta Propertindo untuk mengelola dan memanfatkan lahan hasil reklamasi itu.
Dalam pantauan Kompas, Pulau D tersambung melalui jembatan sepanjang 350 meter di Jalan Pantai Indah Kapuk. Sejumlah mobil pribadi lalu-lalang ke kawasan itu, termasuk menuju deretan rumah tinggal.
Ada pula pusat jajanan serba ada yang buka pukul 17.00-24.00.