Gandrung Jangan Tinggal Patung
Poniti (63) tampak sumringah ketika pulang dari balai desa dengan membawa sekarung beras seberat 10 kilogram. Itu artinya ia tidak perlu ”ngasak" beras (mengumpulkan beras sisa panen), setidaknya untuk satu hingga dua bulan ke depan.
Sehari-hari Poniti tinggal seorang diri di rumah kecil berukuran 3 meter x 5 meter. Dinding rumahnya masih berupa plester semen kasar tanpa cat. Beberapa pigura yang menempel di rumahnya cukup menggambarkan siapa dan bagaimana kehidupannya dahulu.
Poniti adalah satu di antara sedikit gandrung yang masih tersisa. Gandrung Poniti adalah nama bekennya. Poniti bukan hanya sekadar penari gandrung. Dia adalah gandrung profesional atau biasa disebut gandrung terop.
”Saya belajar gandrung sejak tahun 1963. Kala itu saya masih umur 15 tahun. Baru pada umur 16 tahun saya bisa pentas,” tuturnya.
Saat ini jumlah gandrung profesional tak lebih dari 10 orang. Sebagian besar hidup mereka jauh dari kesan mewah. Pun demikian dengan Temu Misti (66) atau yang biasa dikenal dengan gandrung temu.
Peraih gelar dan tanda kehormatan dari Presiden Republik Indonesia berupa Bintang Budaya Parama Dharma Kategori Pelestari Budaya itu sehari-hari masih beternak ayam. Temu belajar gandrung sejak umur 16 tahun dan baru setahun kemudian ia memulai kariernya sebagai gandrung.
Hingga kini ia masih aktif mengisi sejumlah pergelaran. Terkadang Temu tampil sebagai sinden mengiringi penari gandrung. Namun, beberapa kali ia masih tampil sebagai gandrung, yang artinya menari dan menyanyi.
Kisah berbeda disampaikan gandrung Sunasih (56). Wanita yang belajar menjadi gandrung sejak umur 18 tahun itu butuh waktu sekitar dua bulan untuk belajar hingga bisa pentas di panggung gandrung. Kini, ibu tiga anak tersebut menyambung hidup sebagai pekerja rumah tangga dengan upah harian Rp 90.000.
Poniti, Temu, dan Sunasih merupakan gandrung profesional yang masih tersisa yang dimiliki Banyuwangi. Selain mereka, masih ada Supinah, Darti, Lastri, dan Mudaiyah. Kalaupun masih ada yang lainnya, jumlah keseluruhannya tak lebih dari 10 orang.
Ironi regenerasi
Setiap tahun Banyuwangi memang menggelar pergelaran akbar Gandrung Sewu yang menampilkan 1.000 penari gandrung. Namun, para penari tersebut berbeda dengan apa yang dijalani dan dihidupi Poniti dan kawan-kawan.
Anak-anak remaja tersebut hanya menari. Berbeda dengan Poniti dan kawan-kawan yang tidak hanya menari, tetapi juga menyanyi. Selain itu, para gandrung profesional seperti Temu, Poniti, dan yang lainnya, harus melewati upacara meras gandrung. Sebuah ritual yang tidak dijalani para penari gandrung kini.
”Gandrung itu tidak hanya bisa menari. Gandrung itu juga harus bisa menyanyi. Kalau hanya menari itu gampang. Tetapi itu, ya, hanya gandrung-gandrungan (gandrung bohongan),” kata Poniti.
Poniti, Temu, Supinah dan Sunasih sadar tak banyak remaja yang ingin menjadi gandrung seperti mereka. Remaja Banyuwangi akhir-akhir ini lebih memilih menjadi penari gandrung saja, bukan gandrung profesional.
Poniti, Supinah, dan Sunasih sudah lupa kapan mereka terakhir me-meras gandrung penerus mereka. Berbeda dengan Temu yang masih me-meras seorang gandrung pada September 2018.
Ritual meras gandrung tak ubahnya wisuda bagi seorang gandrung agar dinyatakan layak untuk pentas. Dalam ritual tersebut, gandrung dicekoki cairan herbal dari hidung hingga keluar lewat mulut. Ritual ini merupakan tahapan pupuk pita suara sekaligus membuang aura negatif dalam tubuh gandrung.
”Saya terakhir meras Yeyen, anak Sumatera. Tetapi saya tidak tahu setelah diperas, dia tetap jadi gandrung atau tidak. Setelah diperas dia pulang ke rumahnya di Palembang. Dia ke Banyuwangi hanya untuk belajar gandrung hingga diperas,” ujar Temu.
Ironi memang, saat setiap tahun 1.000 penari gandrung lahir di Banyuwangi, tetapi jumlah gandrung profesional jumlah tidak bertambah. Apabila setahun ada satu saja, itu sudah luar biasa.
Temu mengakui tidak mudah menjadi gandrung profesional. Banyak syair yang harus dihafalkan. Belum lagi cengkok khas gandrung yang panjang dan sulit. Remaja saat ini, lanjut Temu, enggan mempelajari itu. ”Bagi mereka, bisa menari saja sudah cukup,” ujarnya.
Poniti memiliki pemikiran berbeda. Menurut dia, menjadi gandrung tak lagi menjanjikan. Anak-anak sekarang lebih tertarik menjadi pekerja kantoran. Terlebih lagi penghasilan yang diperoleh gandrung tak banyak.
Pemikiran berbeda dan dilematis justru disampaikan Sunasih. Di satu sisi, ia ingin lahir generasi-generasi penerus gandrung. Namun di sisi lain, ia tidak rela jika anaknya sendiri jadi gandrung seperti dirinya. ”Harus ada gandrung-gandrung baru, tetapi, ya, jangan anak saya,” ujarnya.
Sunasih menilai, anak-anak sekarang memerlukan pendidikan. Kondisi ini sulit jika harus dijalankan bersamaan dengan profesi gandrung. Pasalnya, pertunjukan gandrung dimulai malam hari dan berakhir subuh sehingga tentu akan mengganggu sekolah atau perkuliahan anak.
Ia juga mengakui tak mudah menjadi gandrung. Bukan hanya perkara olah vokal, melainkan juga olah emosi. Untuk menjadi gandrung harus mampu menahan gangguan kaum lelaki dan cemoohan atau pandangan negatif.
Aulia Arif Kaidah (16) dan Riska Amalia (16) adalah dua penari gandrung yang pernah tampil bersama Poniti. Keduanya mengaku senang dan bangga bisa tampil bersama gandrung Poniti. Namun, keduanya enggan jika harus memilih jalan hidup seperti Poniti yang menjadi gandrung profesional.
”Saya bisa menari gandrung sejak SD dan sudah ikut enam kali pergelaran Gandrung Sewu. Tetapi saya tidak mau jadi gandrung. Tidak tertarik saja, lebih baik buka sanggar tari,” ujar Aulia.
Demikian pula dengan Riska, gadis yang belajar tari gandrung sejak SMP dan baru sekali ikut Gandrung Sewu itu juga tidak tertarik menjadi gandrung profesional. Padahal ia pernah sekali ikut menjadi sinden dalam pertunjukan gandrung terop.
”Orangtua tidak mengizinkan saya jadi gandrung yang tampil semalam suntuk. Tetapi, kalau jadi penari gandrung untuk acara atau pertunjukan yang hanya tampil beberapa menit boleh, bahkan didukung,” tuturnya.
Penutur syair
Meski belum ada usaha khusus untuk menambah gandrung profesional di Banyuwangi, aneka upaya dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk terus menjaga kelestarian kesenian gandrung patut diapresiasi. Setiap tahun ribuan pelajar berlomba-lomba lolos audisi agar dapat tampil di pergelaran Gandrung Sewu.
Apresiasi juga diberikan kepada para seniman di Banyuwangi yang konsisten mengajar di sanggar-sanggar untuk melatih para penari. Pun demikian pada sejumlah instansi swasta yang memasang patung gandrung di lahan miliknya.
Bahkan, pemilik Jiwa Jawa Resor, Sigit Pramono, mendirikan Taman Gandrung Terakota yang berisi ratusan patung terakota (gerabah) berbentuk penari gandrung. Ia ingin menjadikan lokasi tersebut sebagai situs untuk merawat dan meruwat gandrung yang menjadi ikon.
Budayawan Banyuwangi, Aekanu Haryono, mengatakan, perkembangan zaman memang berpotensi menggerus budaya tradisional. Upaya yang sedang dilakukan berbagai pihak di Banyuwangi saat ini merupakan upaya memperlambat tergerusnya budaya tradisional tersebut.
”Namun, memperlambat saja tidak cukup. Para gandrung yang tersisa saat ini juga semakin tua. Kita berkejaran dengan waktu agar gandrung tetap eksis,” tuturnya
Aekanu mengatakan, gandrung punya peran penting bagi Banyuwangi. Gandrung tidak hanya sekadar ikon, tetapi juga bagian dari perjuangan, perlawanan, bahkan penyembuh.
Hal itu disampaikan Aekanu karena semula gandrung dibawakan oleh para pria sebagai cara untuk mengusir penjajah Belanda dan VOC dari ”Tanah Blambangan”. Konon pertunjukan gandrung menjadi sarana memata-matai Belanda dan membuat para penjajah mabuk. Ketika itulah para pejuang Tanah Air menyerang.
Mantra-mantra gandrung, lanjut Aekanu, juga dipercaya sebagai penyembuh. Ia mencontohkan tembang ”Kembang Menur” yang pernah digunakan untuk menyembuhkan gandrung Temu ketika sakit keras pada umur 1 tahun. Kini, tembang yang sama kerap digunakan Temu ketika ada orang yang meminta penyembuhan.
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, menilai, Gandrung memiliki peran sebagai pewarta atau penyampai wejangan. Masyarakat Osing akan lebih mudah mendengarkan dan percaya jika sebuah pesan disampaikan oleh gandrung.
”Dulu pengarahan dari pemerintah mental semua. Orang Osing tidak mau mendengarkan. Tetapi kalau sudah ’kek jare gandrung gedikai (nih kata gandrung seperti ini)’, maka semua orang matanya melotot mendengarkan dengan saksama,” ungkap Hasnan.
Karena itu, Gandrung masih dibutuhkan sebagai penjaga tradisi lisan. Gandrung tidak hanya menari, tetapi juga menyanyikan syair-syair yang berisi wejangan dan pitutur yang berguna bagi siapa saja yang menghayatinya.
Aekanu mencontohkan syair lagu ”Petek-Petek Suku” karangan BS Noerdian yang kerap dinyanyikan gandrung. Syairnya berbunyi , ”Petek-petek suku gancang bisa melaku/Petek-petek suku gancang bisa melaku/Melaku puter kayun ubengena alun-alun/Liwata dalan rata gena selamet lakunira”. Syair ini mengajarkan agar kita selalu berada di jalan yang benar agar bisa selamat dunia akhirat.
”Jika gandrung hanya bisa menari tanpa menyampaikan syair-syair tersebut, nilai-nilai dan kearifan lokal Osing bisa tergerus dan habis,” ujar Aekanu.
Kekhawatiran ini seharusnya tidak hanya dirasakan oleh budayawan atau pelaku seni, tetapi juga seluruh warga Banyuwangi yang masih ingin budayanya tetap lestari. Jangan sampai kekhawatiran yang dirasakan Temu terjadi.
”Kalau kami gandrung terop yang tua-tua ini sudah tidak ada, saya khawatir gandrung di Banyuwangi tinggal patung-patungnya saja,” ujar gandrung Temu.