Ribuan warga Jawa Timur menyerukan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan dalam menyikapi hasil sidang perselisihan hasil pemilihan umum 2019.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Ribuan warga Jawa Timur menyerukan penolakan terhadap segala bentuk kerusuhan menyikapi hasil sidang perselisihan hasil pemilihan umum 2019. Semua pihak diharapkan bersinergi menjaga keamanan dan ketertiban agar situasi dan kondisi di Jatim tetap kondusif.
Deklarasi tolak kerusuhan ditandai penandatanganan pernyataan bersama menolak kerusuhan di Surabaya, Minggu (16/6/2019). Dalam pernyataan sikap tersebut, mereka berkomitmen menjaga situasi keamanan dan ketertiban di Jatim. Semua elemen masyarakat sepakat menolak kerusuhan.
Hadir dalam aksi pernyataan bersama yang dilakukan di Monumen Perjuangan Polri di Jalan Polisi Istimewa, Surabaya, antara lain Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Luki Hermawan, Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya Mayor Jenderal R Wisnoe Prasetja Boedi, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, dan ribuan warga Jatim.
Menurut Khofifah, kerusuhan menyikapi hasil pemilu tidak akan meningkatkan produktivitas masyarakat. Kerusuhan hanya akan memicu konflik yang merugikan masyarakat.
”Konflik yang berkepanjangan berawal dari kerusuhan yang mengalami pembiaran, kemudian meluas menjadi konflik sosial, politik, masyarakat, dan pengalaman itu nyata di depan mata, bagaimana kemudian proses itu membenturkan elemen-elemen strategis di banyak negara,” ujarnya.
Belajar dari konflik sosial di negara-negara lain itu, sebaiknya semua elemen masyarakat harus ikut menjaga kerukunan dan persatuan. ”Menjaga persatuan dengan tidak setuju adanya kerusuhan sekecil apa pun. Saya minta semua saling mencoba melakukan langkah-langkah pencegahan,” ucap Khofifah.
Luki berterima kasih kepada semua pihak yang bergabung dan berkomitmen menolak kerusuhan. Jangan sampai kerusuhan pada 21-22 Mei lalu di Jakarta, termasuk pembakaran Mapolsek Tambelangan di Sampang, kembali terulang saat sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
”Kami sudah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama di Jatim untuk tidak memobilisasi massa ke Jakarta ketika sidang PHPU di MK,” ujarnya.
Menurut Wisnoe, masalah keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab seluruh warga. Mereka setidaknya bisa berpartisipasi dengan tidak mudah percaya terhadap berita bohong dan tidak menyebarluaskannya ke media sosial.
Salah satu peserta, Hadi Wijaya (31), mengatakan, warga Jatim tidak boleh mudah terpancing berita palsu. Informasi dari media sosial harus dicek ulang melalui media massa untuk memastikan kebenarannya. ”Tidak perlu demonstrasi, MK pasti membuat keputusan dengan adil,” katanya.