Tanggal 25 Mei 2019, pendaftaran calon Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2020-2024 mulai dibuka. Panitia seleksi yang diketuai Usman Hamid mengajak warga negara Indonesia terbaik yang aktif memperjuangkan Hak Asasi Manusia untuk mendaftarkan diri.
“Pendaftaran ini adalah momentum yang tepat bagi mereka yang berjuang untuk berbuat sesuatu dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) perempuan,” kata Usman dalam keterangan pers di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap (Komnas) Perempuan di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Mengapa demikian? Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk kekerasan seksual, meningkat. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan Tahun 2019 menemukan kekerasan terhadap perempuan di tahun 2018 mencapai 406.178 kasus atau meningkat sekitar 14 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Catahu 2018) yang sebesar 348.446 kasus.
Hal yang memprihatinkan adalah kekerasan seksual di ranah rumah tangga/relasi personal yang tertinggi adalah inses (1.071 kasus), diikuti oleh perkosaan (818 kasus) dan pencabulan (321 kasus). Inses yang menempati angka tertinggi selama dua tahun terakhir Catahu Komnas Perempuan, sulit dilaporkan oleh korban karena pelakunya paling banyak adalah ayah dan paman korban.
Hal yang memprihatinkan adalah kekerasan seksual di ranah rumah tangga/relasi personal yang tertinggi adalah inses (1.071 kasus), diikuti oleh perkosaan (818 kasus) dan pencabulan (321 kasus).
Meski kenaikan jumlah kasus tersebut menunjukkan semakin banyak korban yang berani melapor, seiring meningkatnya kepercayaan dan kebutuhan korban pada lembaga-lembaga pengada layanan, tetap tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi pekerjaan rumah bagi para komisioner. Karena itu, seperti kata Usman, perlu ada langkah dan aksi yang nyata dari orang-orang berintegritas di bidang HAM untuk bergabung dengan Komnas Perempuan melawan kekerasan berbasis jender.
Untuk mewujudkan aksi nyata tersebut, membutuhkan figur atau sosok komisioner yang tidak sembarang. Calon-calon yang akan diseleksi bukan sekadar mengisi kuota kursi komisioner, tetapi harus punya pengetahuan, komitmen kuat, konsistensi, dan berjiwa “pejuang”. Dengan demikian, mereka akan mampu dan berani melakukan aksi-aksi nyata dalam upaya pemajuan HAM perempuan termasuk penghapusan kekerasan dan diskriminasi berbasis jender di ruang publik dan privat.
Rekam jejak
Rekam jejak calon komisioner Komnas Perempuan pun harus dipastikan bersih, tidak tersangkut berbagai tindak kekerasan, poligami, korupsi, atau perusakan lingkungan, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya. Karena itu, pansel mewajibkan para calon yang mendaftar harus memiliki penghormatan pada keberagamaan maupun perbedaan kondisi psikis dan fisik, agama dan keyakinan, ras, etnis, orientasi seksual, status sosial dan keberpihakan terhadap korban.
Kondisi sosial politik di tengah masyarakat yang belakangan ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi para komisioner, dalam upaya melawan kekerasan dan diskriminasi jender ke depan. Kemampuan dalam memahami situasi politik di Tanah Air belakang ini juga sangat penting dimiliki para calon.
Kemampuan dalam memahami situasi politik di Tanah Air belakang ini juga sangat penting dimiliki para calon.
Negosiator dan mediator
Para komisioner terpilih nanti tidak hanya sebagai pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis jender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban, mendorong perubahan serta perumusan kebijakan yang berpihak pada perempuan, tetapi juga harus betul-betul mampu tampil sebagai negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan.
Para komisioner yang terpilih nanti juga harus betul-betul mampu tampil sebagai negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan.
Menjadi negosiator dan mediator adalah salah satu, tugas yang berat bagi para calon komisioner Komnas Perempuan. Sebab, meskipun posisi Komnas Perempuan adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan HAM perempuan Indonesia-yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005, realita di lapangan berbeda.
Sejauh ini keberadaan Komnas Perempuan, oleh sejumlah kementerian/lembaga masih dianggap sebagai “pihak luar” pemerintah. Beberapa pejabat kementerian/lembaga cenderung “alergi” dan menghindari pertemuan dengan komisioner-komisioner Komnas Perempuan, karena memandang mereka sebagai aktivis-aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lebih banyak mengkritik pemerintah.
Sementara di sisi lain, organisasi dan lembaga pengada layanan (FPL) terhadap perempuan korban kekerasan juga berharap Komnas Perempuan menggandeng mereka sebagai mitra strategis dan berbagai program Komnas Perempuan. Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional FPL pun berharap para komisioner yang terpilih nanti dapat terus merawat marwah Komnas Perempuan.
Dengan waktu seleksi yang cukup panjang sekitar dua bulan lebih, hingga 31 Juli 2019, diharapkan panitia seleksi akan menemukan sosok dan figur yang sesuai harapan, menjadi pejuang-pejuang HAM perempuan.