JAKARTA, KOMPAS – Pemindahan bekas Ketua DPR RI Setya Novanto ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur dinilai tidak menyelesaikan masalah apabila persoalan yang mendasar tentang pembenahan tata kelola sistem pemasyaratan tak segera dilakukan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya bertindak reaktif untuk jangka pendek dan kepentingan pemberitaan.
Pada akhir April 2019, Novanto kedapatan sedang bersantap di Rumah Makan Padang padahal yang bersangkutan mendapat izin berobat ke RSPAD Gatot Soebroto karena keluhan penyempitan pembuluh darah, vertigo, hingga jantung koroner. Alasan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami saat dikonfirmasi, Novanto ingin menghirup udara segara sebentar dan makan bubur karena sakit.
Jumat (14/6/2019), tersebar foto Novanto tengah bersama istrinya Deisti Astriani Tagor di sebuah toko bangunan di daerah Padalarang, Bandung Barat. Pasca kejadian itu, Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat langsung mengambil langkah pemindahan Novanto ke Lapas Gunung Sindur pada Jumat Malam.
Menurut Kepala Bagian Humas Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto di Jakarta, Sabtu (15/6/2019), pemilihan Lapas Gunung Sindur untuk Novanto karena tempat tersebut memiliki pengamanan maksimum dengan konsep satu narapidana berada di satu sel. “Diharapkan SN tidak akan melakukan kembali pelanggaran tata tertib lapas dan rutan selama menjalani pidananya,” ujar Ade.
Sebelum kabar Novanto berada di Padalarang tersebar, bekas politisi Golkar ini memperoleh izin perawatan karena keluhan kesehatan pada jantung. Sejak Rabu (12/6/2019), Novanto dirawat di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Novanto dijaga oleh petugas lapas selama menjalani perawatan dan dikonfirmasi oleh pihak Kanwil Kemenkumham Jawa Barat yang sempat mengecek kondisi Novanto di rumah sakit.
Semestinya pada Jumat (14/6/2019) siang, Novanto dijadwalkan kembali ke Lapas Sukamiskin. Namun usai pemeriksaan, Novanto meminta izin untuk membereskan administrasi bersama istrinya. Saat itu, tak ada yang mengawal Novanto dan istrinya yang meminta izin melakukan pembayaran biaya rumah sakit. Setelah ditunggu sekitar empat jam, Novanto tak kunjung kembali sehingga petugas mencarinya.
Ketika petugas lapas menuju ke kasir, Novanto ditemukan baru selesai membayar. Dugaan Kanwil Kemenkumham, Novanto sempat keluar dalam jeda waktu itu. Diakui adanya kelalaian petugas sehingga kini tengah didalami dalam pemeriksaan. “Pemeriksaan kepada petugas yang mengawal masih dilakukan. Evaluasi sementara, petugas tidak menjalankan tugas sesuai standar operasional prosedur. Tapi masih didalami dan jika terbukti akan diberikan sanksi tegas,” ungkap Ade.
Secara terpisah, Gatot Goei dari Centre of Detention Studies menyampaikan pemindahan Novanto akibat perkara ini bukan jaminan. “Kalau sistem pengawalan orang sakit tidak dibenahi maka tidak akan ada perubahan signifikan,” ujar Gatot.
Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch juga berpendapat senada. Hal ini menunjukkan Kemenkumham tidak berupaya serius melakukan pembenahan. “Pada akhirnya sistem yang baik akan menentukan wajah pengawasan yang ada di Lapas. Jadi jika sistem itu tidak segera dibenahi oleh pemerintah maka pemindahan SN ke Gunung Sindur tidak ada artinya,” ujar Kurnia.
Selain peristiwa ini, sel mewah Novanto di Lapas Sukamiskin juga sempat menjadi persoalan. Dengan rentetan kejadian ini, Kurnia berpendapat publik akan mempertanyakan itikad pemerintah dalam memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Kinerja KPK, kepolisian, dan kejaksaan pun akan menjadi sia-sia dalam menangani korupsi apabila lapas sebagai muara penegakan hukum mudah disuap.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, peristiwa ini berisiko bagi kredibilitas Kemenkumham. “Karena jika masyarakat masih menemukan adanya narapidana yg berada di luar, hal tersebut akan menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, khususnya penyelenggaraan lapas,” ujar Febri.
Ia pun mengingatkan agar Ditjen Pemasyarakatan tetap berupaya menjalankan rencana aksi perbaikan pengelolaan Lapas yang sudah pernah disusun dan dikoordinasikan dengan KPK sebelumnya.
Dalam Kajian Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan yang dilakukan KPK pada 2018 setelah operasi tangkap tangan terhadap Kalapas Sukamiskin Wahid Husein, lemahnya pengendalian/pengawasan dalam proses kunjungan, lemahnya mekanisme kontrol, izin berobat, hingga jual beli fasilitas menjadi persoalan yang perlu dituntaskan. Ditjen Pemasyarakatan telah menyusun sejumlah rencana aksi untuk pembenahan tersebut yang harus segera tuntas dalam jangka waktu tertentu.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.