Sarat Rasa Adrian
Penglihatan musisi Adrian Yunan Faisal boleh terampas, tetapi itu tak menyurutkan semangatnya berkarya. Sempat terpuruk beberapa tahun, Adrian kembali menjadi sosok yang berapi-api mencintai musik. Disabilitas justru menjadi semacam sidik jari yang membuat karya-karyanya punya keunikan karakter.
Setelah kehilangan penglihatan pada 2010, Adrian memutuskan bersolo karier. Sebelumnya dia adalah pembetot bas dari grup band Efek Rumah Kaca. Dalam album perdananya yang berisi sepuluh lagu bernuansa folk pop bertajuk Sintas, Adrian menuangkan kesehariannya dalam karya dengan lirik-lirik sederhana, tetapi sarat rasa.
”Orang tunanetra melihat hujan, misalnya, punya cara pandang dan karakteristik beda. Itu yang ditonjolkan. Karya yang menarik adalah karya yang punya karakter. Karya yang sarat rasa,” kata Adrian
Tengoklah lirik salah satu lagu dalam album Sintas yang berjudul ”Mimpi Seperti Hidup”. ”Bermimpi, menidurkan amarah yang kerap bergeming. Merampas keinginan yang pontang panting, maka hidupkanlah mimpi seperti hidup. Mencoba membuka mata yang tertutup bergerak dan rasakan jantung berdegup, maka mimpikanlah hidup”.
Cerita tentang mimpi menjadi sesuatu yang berharga bagi Adrian. Sebab, setelah tak lagi bisa melihat, satu-satunya pengalaman visual yang masih bisa dipungutnya hanya muncul ketika bermimpi. Kini, mimpi-mimpinya menjadi sangat berarti. Mimpi memungkinkannya kembali mereguk pengalaman visual sehingga mimpi seolah hidup.
”Mimpi seperti hidup. Sekarang saya yakin mimpi ada maksudnya. Lebih ingat mimpi saya. Apa maksudnya? Ternyata saya beruntung. Kalau mereka yang enggak melihat dari lahir, mimpinya pun enggak visual. Hanya suara dan memori raba karena enggak punya pengalaman visual,” kata Adrian.
Setiap kali tidur dan bermimpi, ia merasa seperti menonton film dengan gambar visual terbaik. Begitu berharganya mimpi sebagai satu-satunya pengalaman visual itu sehingga ia menuangkannya dalam lagu.
”Dulu menulis lagu karena melihat visual. Sekarang antara rasa, memori, pendengaran, dan visual yang di mimpi,” tambahnya.
Ketika mata tak lagi melihat, indera lain memang jadi lebih terasah dan lebih fokus. Peranan mata yang merupakan indera paling dominan kemudian tergantikan oleh indera pendengaran. Adrian merasakan telinganya bisa mendengarkan lebih tajam, lebih detail, dan lebih fokus. Efek raba menjadi lebih cepat dan ia pun menjadi pribadi yang lebih punya empati.
Sidik jari
Kepekaannya sebagai seorang penyandang disabilitas itulah yang kemudian diasah sebagai karakter alias sidik jari dalam bermusik. Sebuah album ibarat sebuah buku cerita tentang kisah-kisah yang hanya dirasakan oleh penciptanya. Pengalaman tentang mimpi, misalnya, menjadi sidik jari Adrian karena hanya dirasakan olehnya.
Lagu lainnya bertajuk ”Terminal Laut” terasa sangat personal karena merangkum perjalanannya ketika ingin berjalan-jalan ke pantai. Untuk berjalan ke laut pun ia harus membuat janji terlebih dulu karena keterbatasan kondisi fisik. ”Kalau orang bercerita tentang hidupnya masing-masing pasti semua akan berkarakter. Beberapa teman bilang rasanya nyampe. Ada rasa kesendirian,” ungkapnya.
Rasa memang menjadi indera paling dominan ketika Adrian menciptakan karya-karya lagunya, selebihnya memori visual dan sebagian mimpi. Rasa pula yang mengemuka ketika ia membuat lagu bertajuk ”Mainan”.
Ketika di rumah mengasuh putri semata wayangnya, Rintik Rindu (5), ia tak sengaja merusak mainan Rindu. ”Rindu mungutin mainan. Yang saya rasakan, dia kebingungan dan agak sedih. Itu lagu permintaan maaf buat dia,” tambah Adrian.
Ditemui di rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan, lagu-lagu dalam Sintas seperti ”Mainan” menjadi semakin hidup. Keseharian Adrian memang diisi bersama Rindu, sedangkan sang istri seharian pergi kerja kantoran. Lagu pertama dalam album Sintas dibuat beberapa bulan setelah ia kehilangan penglihatan total dan harus berdiam di rumah pada 2010.
Lima tahun pertama tanpa penglihatan Adrian mengurung diri di rumah dan masih memupuk harapan bisa sembuh. Ketika memutuskan merilis album pada 2017, ia seolah benar-benar memulai dari nol. Rekaman lagu pula yang membuatnya melangkah ke luar rumah. Adrian memutuskan bersolo karier dan lepas dari band Efek Rumah Kaca karena keterbatasan fisiknya.
Sintas berkisah tentang pengalaman keseharian di rumah. Hal ini sangat berbeda dengan tema yang diusung Efek Rumah Kaca yang lebih banyak merekam kejadian dengan pendekatan karya jurnalistik dalam musik. Tanpa riset, Sintas merespons keseharian dengan jujur.
”Di rumah ngumpulin draf lagu tanpa ekspektasi. Kayak dari nol, dari Efek Rumah Kaca ke Adrian Yunan,” kata Adrian yang baru merilis lagu ”Mencar” dan kaset dengan materi empat lagu pada Maret lalu.
Festival disabilitas
Meskipun telah menulis beberapa lagu untuk album ke-2 nya, Adrian tak ingin buru-buru dalam mengeksekusi setiap lagu. Ia selalu memulai proses berkaryanya dengan menentukan lagu dan nada, tanpa terlebih dulu memikirkan tema, baru kemudian membuat aransemen. Album ke-2 ini akan berkisah tentang perjalanannya ketika memulai keluar rumah dan masih terkaget-kaget.
Lepas dari Efek Rumah Kaca, ia beberapa kali diundang tampil dalam festival disabilitas. Pada 2018, Adrian tampil bersama dua rekannya di True Colors Festival di Singapura. Ia juga tampil di Paris dalam pergelaran memperingati Hari Difabel Internasional pada Desember lalu. ”Enggak terasa segmented, padahal peserta yang ngisi difabel. Mereka profesional. Ketat dengan waktu. Karyanya serius-serius,” imbuhnya.
Penglihatan Adrian mulai memburuk pada 2005. Kala itu, sebuah rumah sakit khusus mata di Jakarta mendiagnosisnya menderita kelainan genetik di retina. Menurut dokter, ia tak perlu berobat, toh, pasti akan buta karena genetik. Adrian kemudian beralih dari pengobatan medis ke alternatif demi menjaga harapannya untuk sembuh.
Ketika sedang manggung bersama Efek Rumah Kaca di Malaysia dan Singapura, kondisi matanya kembali droppada 2010. Teman-temannya menyarankan agar ia memeriksakan mata di Singapura karena low vision membuatnya kurang gesit.
”Setelah general check up, terdeteksi saya terserang virus toksoplasma. Jika sumbernya diketahui lima tahun sebelumnya, saya sebenarnya bisa sembuh. Tetapi sudah enggak bisa diapa-apain karena virus sudah merusak saraf,” kata Adrian yang sudah bermusik sejak tahun 2000-an ketika duduk di bangku SMA.
Dengan keunikan karakter sebagai penyandang disabilitas, Adrian terus berkarya. Ia menilai banyak seniman difabel di Indonesia yang awalnya difasilitasi untuk menggeluti musik, tetapi terpangkas dalam prosesnya. ”Penginnya enggak ada pengotak-kotakan. Dalam kekaryaan, kaum difabel harus meluaskan pandangan dan tidak terkungkung. Bagaimana karya bisa keluar dari lingkungan mereka,” ujar Adrian.
Dalam gelap, Adrian melahirkan alunan musik yang menggelorakan keindahan hidup. Musik yang sarat rasa.
Adrian Yunan Faisal
Lahir: Jakarta, 16 Maret 1976
Orang tua : Yusuf Arby & Yustiah
Istri: Yonita Ismiyati
Anak: Rintik Rindu (5)
Karier bermusik
- Mulai sejak SMA
- Efek Rumah Kaca, 2000-2017
- Solo karier, 2017-sekarang
Album, bersama Efek Rumah Kaca
- Efek Rumah Kaca 2007
- Kamar Gelap 2008
- Sinestesia 2015
- Single Merdeka 2016
Penghargaan, bersama Efek Rumah Kaca
- Rockie of The Year 2008-Rolling Stone Indonesia
- Best cutting edge-MTV Award 2008
- Best album 2010-Icema
Album solo Adrian Yunan
- album Sintas, 2017
- singel "Mencar", 2019
Penghargaan
- Musisi Lirik Inspiratif 2018
- Apresiasi Musik Bagus