Survei SMRC: 69 Persen Masyarakat Menilai Pemilu 2019 Jujur dan Adil
›
Survei SMRC: 69 Persen...
Iklan
Survei SMRC: 69 Persen Masyarakat Menilai Pemilu 2019 Jujur dan Adil
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei setelah Pemilihan Umum Serentak 2019. Berdasarkan hasil survei yang dirilis di Jakarta, Minggu (16/6/2019), sebanyak 69 persen responden menilai Pemilu 2019 berjalan secara jujur dan adil.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei setelah Pemilihan Umum Serentak 2019. Berdasarkan hasil survei yang dirilis di Jakarta, Minggu (16/6/2019), sebanyak 69 persen responden menilai Pemilu 2019 berjalan secara jujur dan adil.
Survei dari SMRC dilaksanakan pada 20 Mei-1 Juni 2019 dengan metode wawancara secara langsung terhadap 1.220 responden. Namun, responden yang hanya bisa diwawancarai secara valid hanya 1.078. Adapun margin of error sebesar lebih kurang 3,05 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasil survei mencatat, sebanyak 69 persen responden menilai Pemilu 2019 berjalan secara jujur dan adil. Sementara responden yang menjawab pemilu tidak berjalan secara jurdil mencapai 27 persen dan tidak menjawab 4 persen
Direktur Program SMRC Sirojudin Abbas memaparkan, hasil survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik dengan kualitas pemilu saat ini tidak banyak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada survei Pemilu 2009, sebanyak 67 persen responden menilai pemilu berjalan secara jurdil, sementara pada Pemilu 2014 mencapai 70,7 persen.
Sementara itu, hasil survei juga mencatat adanya penurunan kepercayaan masyarakat atas kualitas demokrasi Indonesia setelah kerusuhan 21-22 Mei lalu. Survei pada April 2019 lalu menunjukkan sebanyak 74 persen responden menyatakan puas terhadap demokrasi. Namun, pada Juni 2019, angka itu turun menjadi 66 persen.
Sirojudin menjelaskan, penurunan kepercayaan masyarakat ini terjadi akibat sejumlah faktor setelah kerusuhan. Faktor tersebut antara lain masyarakat takut berbicara politik, takut berorganisasi, dan takut dengan penangkapan yang semena-mena oleh aparat hukum.
Belum menyerah
Meski demikian, Sirojuddin menambahkan, secara umum rakyat Indonesia belum menyerah dengan prinsip demokrasi. Masyarakat masih menilai sistem pemerintahan yang demokratis lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan prinsip lainnya.
Berdasarkan penyidikan kerusuhan 21-22 Mei terbaru, Polri telah menyampaikan kronologi kerusuhan, termasuk penyerangan massa perusuh, yang berbeda dari pengunjuk rasa damai. Polri juga telah memaparkan adanya senjata sitaan yang diduga sudah disiapkan perusuh, seperti panah beracun dan bom molotov.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan, saat ini tim Polri masih kesulitan dalam mengungkap tewasnya sembilan orang yang diduga sebagai perusuh dalam kerusuhan 21-22 Mei. Hal ini karena Polri belum mengetahui semua lokasi tempat kejadian perkara tewasnya para korban.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen membuka hasil penyidikan Polri. Hasil penyelidikan itu antara lain tentang kerusuhan 21-22 Mei, masalah senjata ilegal yang dikuasai Mayor Jenderal TNI (Purn) Soenarko, dan senjata ilegal yang berkaitan dengan rencana pembunuhan sejumlah tokoh nasional (Kompas, 13/6/2019).
Tidak melemahkan demokrasi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, penurunan kepercayaan masyarakat atas kualitas demokrasi seharusnya tidak melemahkan pandangan terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Menurut Titi, sistem demokrasi memang tidak sempurna dan terkadang menghadapi tantangan serta ancaman. Namun, sistem ini harus tetap dijaga karena hanya dengan demokrasi masyarakat bisa berbicara tentang kelemahan dan kekurangan pemerintahan.
”Membicarakan kelemahan dan kekurangan itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan dengan sistem otoritarian dan fasis. Oleh karena itu, demokrasi harus dijaga dan dikawal,” ujarnya.