Yang Terlihat dan Tak Terlihat
Suara lenguhan sapi, cuitan burung, kucing, dan hewan lainnya menyibak kegelapan dan membuka pementasan di panggung. Diikuti seberkas sinar putih membentuk garis lingkaran di lantai membentuk ruang imajinasi rahim ibu yang sedang mengandung bayi kembar laki-laki dan perempuan, Tantri dan Tantra.
Tantri dan Tantra kemudian tumbuh sebagai lakon utama pementasan teater tari alih wahana dari film Sekala Niskala atau The Seen and Unseen. Film panjang garapan sutradara Kamila Andini (33) asal Jakarta itu pernah tayang di jaringan bioskop nasional pada 1 Maret 2018.
Pemanggungan teater tarinya ditampilkan di Teater Salihara, Jakarta, 15-16 Juni 2019. Berikutnya, akan dipentaskan pula di Esplanade Theatre Studio, Singapura, 28-29 Juni 2019.
Film Sekala Niskala digarap enam tahun, 2011-2017. Pemutaran perdana untuk publik internasional dilakukan di Festival Film Internasional Toronto, Kanada, 2017. Film ini kemudian diikutsertakan dalam 70 festival film internasional lainnya dan memperoleh 10 penghargaan. Satu di antaranya memperoleh penghargaan Grand Prix dari Festival Film Internasional Berlinale di Berlin, Jerman.
”Pemanggungan film ini untuk yang pertama kalinya,” ujar Kamila, Jumat (14/6/2019), di Teater Salihara, Jakarta.
Kamila menyelesaikan studi Sosiologi dan Seni Media di Universitas Deakin, Melbourne, Australia. Ia kemudian terjun ke dunia film sebagai penulis naskah atau sutradara.
Film Sekala Niskala atau The Seen and Unseen merupakan karya film panjangnya yang kedua. Film panjang pertama karya Kamila, berjudul The Mirror Never Lies, juga pernah diikutkan di 30 festival film internasional dan meraih beberapa penghargaan.
”Film Sekala Niskala idenya dari keinginan mencari diri saya sebagai manusia Indonesia,” ujar Kamila.
Di dalam pencarian itu Kamila memilih untuk memeluk kehidupan. Kehidupan yang diwarnai dualisme, seperti baik dan buruk, senang dan sedih, siang dan malam, atau hidup dan mati. Prosesnya berlanjut hingga Kamila berjumpa dengan konsep dualisme di dalam mitologi Bali, yaitu sekala niskala, atau yang terlihat dan tidak terlihat.
Kamila menggandeng koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani, pengajar di Departemen Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali. Kemudian melibatkan para pemain anak-anak yang tergabung di Komunitas Bumi Bajra, Bali. Anak-anak komunitas ini menjadi pemain film Sekala Niskala sekaligus juga pemeran teater tarinya.
Kamila juga berkolaborasi lintas budaya dengan seniman Jepang dan Australia. Sutradara teater asal Australia, Marrion Potts, menjadi produser eksekutif pementasan ini. Sementara Yasuhiro Morinaga asal Jepang sebagai desainer tata suara pementasan.
Koreografer Ida Ayu Wayan, yang akrab disapa Dayu Ani, berujar, pemanggungan film Sekala Niskala memiliki tantangan pada sudut pandang penonton secara langsung dan menyeluruh. Berbeda dengan penggarapan filmnya, sudut pandang kamera menjadi kekuatan penyajiannya.
Warih Wisatsana, penyair yang menetap di Bali, dalam tulisan pengantar pementasan teater tari ini menyebutkan, karya sinema dan pemanggungan teater tari Sekala Niskala tidak bisa dibandingkan. Akan tetapi, keduanya harus disandingkan layaknya sekala dan niskala.
”Keduanya itu sama-sama sebagai refleksi mendalam tentang dunia batin Kamila, tentang dunia batin kita juga,” kata Warih.
Enam babak
Kamila membagi enam babak untuk pementasan teater tari Sekala Niskala; yakni babak kelahiran, telur, ayam, semesta, kehilangan, dan babak melebur. Pada babak pertama, babak kelahiran, dikisahkan lahirnya bayi kembar Tantri dan Tantra saat gerhana bulan dari rahim seorang ibu yang diperankan aktris Ayu Laksmi.
Tantri diperankan Ni Kadek Thaly Titi Kasih (14) dan Tantra diperankan Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena (15). Kelahiran keduanya sebagai sekala atau yang terlihat disertai pula kelahiran empat saudara niskala atau yang tidak terlihat.
Keempat saudara niskala disebut Nyama Catur. Mereka diperankan I Made Manipustaka (13), Wayan Amrita Dharma Darsanam (16), Ni Kadek Dwipayani (14), dan Ni Komang Trisnadewi (14).
Warih Wisatsana menyebutkan, mitologi Bali tentang keempat saudara yang tak terlihat itu disebut pula sebagai Kanda Pat. Nama-nama Kanda Pat adalah Banaspati, Anggapati, Mrajapati, dan Banaspatiraja. Keempatnya sebagai wujud yeh nyam (air ketuban), getih (darah), lamas (selubung halus janin), dan ari-ari (plasenta).
Tantri dan Tantra beserta keempat Kanda Pat menampilkan gerak dan bunyi yang tak terelakkan menampakkan seni tradisi Bali. Akan tetapi, mereka tidak sedang mengekspresikan seni tradisi Bali, melainkan gerak tubuh teatrikal kontemporer meski masih tetap menonjolkan ekspresi mimik atau wajah seperti tarian tradisi Bali. Selain itu, gerak teatrikal mereka mengandalkan kelenturan tubuh mereka.
Di babak kedua, babak telur, dikisahkan Tantra mengambil telur dari sajen yang disiapkan ibunya. Tantra kemudian menunjukkan telur itu kepada Tantri dan menggodanya untuk memperebutkan telur itu.
Tantri berhasil merebut telur itu. Seketika itu pepohonan di dekatnya menunjukkan kekuatannya dengan menjatuhkan telur-telur dalam jumlah amat banyak. Telur berserakan di tanah.
Selanjutnya babak ketiga, babak ayam. Sepasang ayam kembar menyambut gembira ketika menyaksikan telur yang begitu banyak. Akan tetapi, mereka sedih ketika melihat ada ayam lain memainkan telur yang pecah.
Selanjutnya, di antara ayam itu terjadi perkelahian. Tantri dan Tantra masuk arena perkelahian, terlibat dalam perkelahian.
Babak keempat adalah babak semesta. Tantri mandi berdua bersama ibunya. Di situ Tantri melihat Dewi Bulan menari di balik bulan. Ia pun ikut menari. Dari balik pohon, Tantra menyaksikan Tantri dan ikut menari, tanpa diketahui Tantri.
Beralih ke babak kelima, babak kehilangan. Tantra sedang berada di bawah rindangnya pepohonan yang menjadi tempat bersemayamnya keempat saudaranya yang tak terlihat. Ia merasakan dunia yang berbeda. Kemudian Tantra terlilit tali. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan lilitan tali itu.
Keempat saudaranya yang tak terlihat berusaha mengendalikan Tantra, tetapi mereka tak kuasa dan terisap kembali ke dalam pohon. Tantra akhirnya lemas dan menyerah, hingga menemui ajalnya. Tantri pun datang. Ia menjumpai saudara kembarnya itu sudah tak bernyawa.
Babak terakhir, babak melebur. Tantri berusaha membuat posisi tubuh Tantra terduduk. Ia melekatkan punggungnya ke punggung Tantra. Kemudian Tantri mengangkat Tantra dan membawanya masuk ke dalam rindang pepohonan.
Di situlah mereka berjumpa dengan keempat saudara yang tak terlihat. Jasad Tantra seperti hidup kembali dan melebur bersama keempat saudara yang tak terlihat.
Tantri larut dalam suasana yang berbeda. Semula Tantri tidak bisa berjumpa dan berhadap-hadapan dengan keempat saudaranya yang tak terlihat. Tantri dan Tantra yang semula sebagai sekala atau yang terlihat akhirnya bertemu dengan keempat saudara niskalanya.
Inilah kisah Kamila yang menemukan jalan panjangnya untuk melihat ke dalam diri sebagai manusia Indonesia. Kamila pun berujar, ”Pertunjukan ini usaha kami untuk memeluk kehidupan.”