Masyarakat internasional kembali dicemaskan oleh wabah ebola. Meski tak sedahsyat dulu, wabah kali ini tetap menimbulkan kekhawatiran yang sangat serius.
Dua orang meninggal di Uganda pekan lalu setelah mereka pergi ke Republik Demokratik Kongo untuk mengurus keluarga yang menderita infeksi ebola dan menghadiri pemakamannya di negara itu. Satu lagi anggota keluarga masih dirawat oleh otoritas Uganda.
Kematian dua warga Uganda itu menimbulkan kecemasan ebola kembali menjadi wabah lintas negara. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan untuk belum menyatakan kondisi darurat internasional. Pertimbangannya, wabah ini masih bersifat darurat nasional, yakni hanya terjadi di RD Kongo. Kematian warga Uganda terjadi karena tertular di RD Kongo, bukan karena Uganda didera wabah.
Sebelum ini, wabah ebola terjadi di Afrika barat pada 2014 hingga 2016. Negara yang terkena wabah saat itu antara lain Liberia, Guinea, dan Sierra Leone. Lebih dari 11.300 orang meninggal akibat wabah ebola pada 2014-2016.
Adapun wabah ebola sekarang, yang dideklarasikan Agustus 2018, melanda wilayah timur negara RD Kongo. Wilayah ini bergejolak akibat pemberontakan sehingga mengganggu penanganan wabah. Selain itu, ada resistensi komunitas setempat yang membuat penanganannya kian terkendala. Hingga kini, ada 1.411 kematian dari 2.108 kasus yang terjadi.
Ebola merupakan penyakit menular akibat virus (ebolavirus). Penularan berlangsung di antara manusia lewat kontak dengan darah, cairan tubuh, serta substansi yang dikeluarkan tubuh atau organ milik penderita. Obyek atau benda yang sudah terkontaminasi juga bisa menjadi sumber penularan.
Saat wabah terjadi, termasuk ebola, pertanyaan penting yang selalu diajukan ialah seberapa memadai infrastruktur serta peralatan untuk mengatasinya. Dana dan bantuan internasional ditujukan untuk mendukung kesiapan tersebut, termasuk pekerja medis.
Pertanyaan ini pula yang muncul saat menghadapi wabah ebola sekarang. Penanganan medis yang terhambat akibat kondisi keamanan tak memadai membuat wabah ebola berlangsung luas di RD Kongo. Ketika penyakit itu mendera warga Uganda yang pulang dari RD Kongo, pertanyaan serupa muncul. Bagaimana Uganda mengantisipasi sekaligus menanganinya.
Laporan menyebutkan, petugas medis Uganda cemas karena peralatan di rumah sakit kurang. Jumlah sarung tangan tidak cukup. Bangsal isolasi penderita ebola juga hanya berupa tenda di halaman rumah sakit. Kondisi ini tentu disayangkan. Wabah penyakit mematikan ebola memerlukan penanganan cepat dan peralatan cukup.
Maka, organisasi internasional seperti WHO, meski belum menyatakan darurat internasional, harus tetap memberikan perhatian besar. Jika kemampuan penanganan jauh dari mencukupi, bukan tak mungkin wabah ebola kali ini menjadi lintas negara dan jumlah korban pun semakin banyak.