Utang Luar Negeri RI Tumbuh 8,7 Persen, Swasta Mendominasi
›
Utang Luar Negeri RI Tumbuh...
Iklan
Utang Luar Negeri RI Tumbuh 8,7 Persen, Swasta Mendominasi
Utang luar negeri Indonesia per akhir April 2019 melonjak 8,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini didominasi kenaikan utang swasta.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri Indonesia per akhir April 2019 melonjak 8,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini didominasi kenaikan utang swasta.
Bank Indonesia (BI) mencatat, pada akhir April 2019 posisi utang luar negeri Indonesia mencapai 389,3 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 5.583 triliun. Posisi utang ini tumbuh 8,7 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Maret 2019 dengan pertumbuhan 7,9 persen.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Senin (17/6/2019), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, kenaikan posisi utang itu disebabkan transaksi penarikan neto utang luar negeri.
”Di samping itu, penguatan nilai tukar dollar AS membuat posisi utang dalam denominasi dollar AS tercatat lebih tinggi,” ujarnya.
Peningkatan pertumbuhan utang bersumber dari sektor swasta, di tengah perlambatan pertumbuhan utang luar negeri pemerintah. Besaran utang tersebut terdiri dari utang pemerintah sebesar 189,7 miliar dollar AS dan utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 199,6 miliar dollar AS.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada April 2019 tercatat sebesar 186,7 miliar dollar AS atau naik 3,4 persen dibandingkan dengan posisi April 2018. Pertumbuhannya melambat jika dibandingkan dengan posisi Maret 2019 di angka 3,6 persen.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada April 2019 tercatat sebesar 186,7 miliar dollar AS atau naik 3,4 persen dibandingkan dengan posisi April 2018.
Perlambatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman senilai 600 juta dollar AS dan penurunan kepemilikan surat berharga negara (SBN) nonresiden senilai 400 juta dollar AS.
”Penurunan kepemilikan SBN terjadi setelah muncul ketidakpastian di pasar keuangan global akibat perang dagang AS-China,” kata Onny.
Pengelolaan utang luar negeri pemerintah diprioritaskan untuk sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial dengan porsi 18,8 persen, konstruksi (16,3 persen), pendidikan (15,8 persen), jaminan sosial (15,1 persen), keuangan dan asuransi (14,4 persen), serta sisanya administrasi pemerintah dan pertahanan.
Adapun utang luar negeri swasta didominasi dari sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara, serta pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2 persen terhadap total utang.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual, menilai, peningkatan utang luar negeri yang tak sejalan dengan perbaikan kinerja ekspor membuat beban utang Indonesia makin berat.
Volume ekspor komoditas, lanjut David, semakin menurun seiring melemahnya permintaan global akibat perlambatan ekonomi. Sementara tren harga komoditas memang sudah melemah dalam beberapa tahun terakhir.
”Misalnya batubara dan kelapa sawit yang menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia selama ini,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut David, perlu mendalami realisasi diversifikasi ekspor agar tak hanya bergantung pada komoditas. Selain itu, aliran investasi asing langsung (FDI) juga perlu didorong masuk ke dalam negeri karena bisa menjadi sumber devisa yang besar.
”Selama ini, kebutuhan devisa untuk menutupi utang luar negeri lebih banyak mengandalkan portofolio saja. Ini harus diubah karena cukup berisiko,” kata David.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Pieter Abdullah mengatakan, pemerintah dapat memberi penugasan kepada korporasi swasta dan BUMN untuk membangun sektor riil, dengan memberi insentif dan sanksi untuk mencapai target.
”Utang luar negeri perlu dibarengi dengan insentif yang kuat. Namun, harus ada target dan key performance indicator terukur, yang perlu dipenuhi korporasi, baik swasta maupun BUMN,” ujar Pieter.