Kapal Laut Motor Arim Jaya yang terbalik di perairan Sumenep tidak memenuhi syarat untuk dijadikan angkutan penyeberangan. Kapal berukuran 3 GT itu adalah kapal nelayan pengangkut ikan.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AGNES SWETTA PANDIA/ BAHANA PATRIA GUPTA
·3 menit baca
SUMENEP, KOMPAS — Kapal Laut Motor Arim Jaya yang terbalik di perairan Sumenep tidak memenuhi syarat untuk dijadikan angkutan penyeberangan. Kapal berukuran 3 GT itu adalah kapal nelayan pengangkut ikan.
”Secara fungsi, kapal yang tenggelam itu tidak boleh digunakan untuk angkutan penyeberangan. Desainnya untuk mencari ikan,” kata Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kalianget Supriyanto, Selasa (18/6/2019), di Sumenep, Jawa Timur.
Sebelumnya, pada Senin (17/6), Kapal Laut Motor Arim Jaya dengan rute Pulau Goagoa, Kecamatan Raas, Sumenep-Pelabuhan Dungkek, Kecamatan Dungkek, terbalik di sekitar Pulau Gili Iyang. Kapal yang berangkat pada pukul 08.00 itu akan menempuh perjalanan sekitar 76 kilometer ke arah barat menuju Pulau Madura. Namun, sekitar 10 km menuju Pelabuhan Dungkek, kapal diempas ombak dan terbalik di sekitar Pulau Gili Iyang.
Hingga Selasa pukul 18.00, tim SAR gabungan dari unsur Badan SAR Nasional, kepolisian, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumenep dibantu masyarakat telah mengevakuasi 56 penumpang dan awak KLM Arim Jaya.
Sebanyak 39 penumpang selamat, 17 penumpang meninggal, dan 4 penumpang lainnya masih dalam pencarian. Kepala Seksi Operasi dan Siaga Kantor SAR Surabaya Al Amrad mengatakan, data jumlah penumpang itu berdasarkan kesaksian dari penumpang yang selamat karena nakhoda kapal tidak memiliki manifes.
Salah satu penumpang selamat, Salihan (36), mengatakan, kapal diempas ombak dari sisi kiri. Akibatnya, kapal miring ke kanan, kemudian terbalik. Pria yang menyeberang ke Pulau Madura untuk kembali merantau ke Kalimantan ini hanya bisa menyelamatkan anaknya, Aditya Pratama (9 bulan), sedangkan istrinya terjebak di kapal. Belakangan, istri Salihan ditemukan meninggal.
”Saya keluar dari pintu kecil dan tidak menemukan pelampung. Selama 2 jam, saya berpegangan di badan kapal yang terbalik sebelum akhirnya mendapat bantuan dari nelayan,” ujar Salihan.
Supriyanto mengatakan, Pelabuhan Goagoa yang menjadi lokasi keberangkatan kapal tersebut juga tidak memiliki otoritas pelabuhan ataupun kesyahbandaran. Pelabuhan dikelola secara mandiri oleh warga sehingga pengawasan terhadap keselamatan penumpang rendah.
”Kalau wilayahnya berada di bawah kewenangan KSOP Kalianget pasti kami tidak izinkan berlayar karena tidak memenuhi syarat. Namun, kejadiannya berada di luar kewenangan kami sehingga pelayaran ditentukan sendiri oleh pemilik kapal,” ucapnya.
Wakil Bupati Sumenep Achmad Fauzi mengatakan, mayoritas warga di kepulauan Sumenep menggunakan pelayaran rakyat dengan perahu kayu masih menjadi alat transportasi utama di kepulauan. Sebab, kapal perintis yang tersedia di daerah tersebut jumlahnya masih belum mencukupi sehingga banyak warga di kepulauan harus menggunakan pelayaran rakyat.
Dari 126 pulau di Sumenep, ada 48 pulau yang berpenghuni. Adapun lima kapal perintis yang tersedia di Sumenep hanya melayani rute di pulau-pulau besar, antara lain Pulau Puteran, Pulau Sapudi, Pulau Raas, Pulau Kangean, dan Pulau Masalembu. Pulau-pulau kecil yang belum tersentuh kapal perintis menggunakan perahu kayu.
Pemkab Sumenep tidak bisa melarang penggunaan perahu kayu karena sudah menjadi tradisi masyarakat dan menjadi sarana angkutan utama masyarakat kepulauan. ”Kami terus mengimbau kepada pemilik kapal untuk mengutamakan keselamatan penumpang. Alat keselamatan, seperti pelampung dan alat navigasi, terus kami sosialisasikan kepada masyarakat,” kata Achmad.