Kenaikan tarif tiket pesawat dinilai tidak wajar yang tecermin dari lonjakan sumbangan ke inflasi hingga Mei 2019. Hal itu terjadi karena masalah utama industri penerbangan nasional terkait inefisiensi tidak kunjung dibenahi.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif tiket pesawat dinilai tidak wajar yang tecermin dari lonjakan sumbangan ke inflasi hingga Mei 2019. Hal itu terjadi karena masalah utama industri penerbangan nasional terkait inefisiensi tidak kunjung dibenahi.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengatakan, fenomena kenaikan tarif tiket pesawat mulai Januari 2019 dinilai tidak wajar. Andil kenaikan tarif tiket pesawat terhadap inflasi biasanya berkisar 2-4 persen dan hanya terjadi pada momen-momen tertentu, seperti musim Lebaran dan akhir tahun.
”Namun, sejak Januari 2019, andil angkutan udara terhadap inflasi cukup besar. Per Mei 2019, andil terhadap inflasi sudah naik lebih dari dua kali lipat sebesar 9 persen,” kata Suhariyanto dalam rapat kerja Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (17/6/2019) malam.
Dari kajian BPS, kata Suhariyanto, kenaikan tarif tiket pesawat berdampak luas terhadap kinerja pariwisata Indonesia. Jumlah penumpang angkutan udara per April 2019 menurun 28,5 persen dibandingkan April 2018. Sementara, tingkat okupansi hotel turun cukup signifikan dari 57,4 persen menjadi 53,9 persen.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat, rencana pemerintah membuka izin penerbangan untuk maskapai asing tidak serta-merta bisa menurunkan tarif tiket pesawat. Hal itu karena masalah utama dalam industri penerbangan domestik, yakni inefisiensi, belum diatasi.
Ditilik dari tingkat keterisian (load factor), rata-rata maskapai di Indonesia sudah mencapai 78 persen. Angka itu lebih tinggi dari titik impas tingkat keterisian (breakeven load factor/BLF) rata-rata maskapai di Asia Pasifik, yakni 67-69 persen. Data itu seharusnya mencerminkan keuntungan maskapai di Indonesia, tetapi yang terjadi justru kenaikan harga dengan alasan masih rugi.
”BLF maskapai Indonesia melebihi BLF rata-rata Asia Pasifik maupun dunia, tetapi masih rugi. Maka bisa dikatakan maskapai Indonesia tidak efisien. Inefisiensi juga bisa disebakan pembukaan rute-rute yang memang tidak menguntungkan dari sisi bisnis,” kata Nailul.
Menurut Nailul, harga avtur acap kali menjadi kambing hitam dalam permasalahan inefisiensi penerbangan nasional. Padahal, harga avtur di Indonesia lebih murah dibandingkan Singapura dan Malaysia. Bahkan, harga avtur yang dijual PT Pertamina sudah turun 16 persen sejak November 2018 menjadi Rp 8.210 per liter.
Duopoli
Nailul mengatakan, inefisiensi juga terkait pembiaran pengonsentrasian pasar dan duopoli penerbangan. Sejak tahun 2010, nyaris tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik. Akibatnya, konsentrasi pasar terfokus pada dua grup penerbangan besar domestik, yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.
Kedua perusahaan tersebut menguasai sekitar 96 persen pangsa pasar nasional. Terlebih pada tahun 2018 ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia. Penguasaan pasar oleh Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group membuat kedua perusahaan itu lebih leluasa menentukan harga dan kualitas.
”Penguasaan pasar oleh kedua perusahaan meningkat pada low season tahun 2019. Dulu, saat low season, harga tiket pesawat ditentukan proses penawaran dan permintaan. Saat ini perusahaan bebas menentukan harga dan masyarakat tidak daya tawar dan pilihan lainnya,” kata Nailul.
Dari kajian Indef, penguasaan pasar atau monopoly power ditunjukkan dengan nilai dari lerner index (LI). Jika nilai LI semakin mendekati 1, berarti monopoly power semakin mutlak. Sebaliknya, jika nilai LI mendekati 0, monopoly power semakin kecil. Nilai LI industri penerbangan nasional tahun 2019 sebesar 0,58 (low season) dan 0,68 (peak season).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menekankan, kenaikan tarif pesawat perlu dilakukan bertahap. Kenaikan tarif dapat dilakukan di rute-rute dengan pangsa kelas menengah atas, sedangkan rute dengan pangsa kelas menengah bawah kenaikannya perlu bertahap sesuai mekanisme pasar.
Menurut Luhut, tarif yang mahal saat ini antara lain disebabkan inefisiensi perusahaan, seperti Garuda Indonesia dan Lion Air Group. Meski demikian, lanjutnya, inefisiensi tersebut sedang diupayakan untuk ditekan.
Dalam kesempatan itu, Luhut menepis tudingan duopoli dalam industri penerbangan di Indonesia yang membuat harga tiket pesawat mahal. Tudingan duopoli itu menyasar Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group yang menguasai pasar (Kompas, 12/6/2019).