Kota Samarinda Perlu Rp 25,7 M
Banjir berhari-hari di sejumlah kabupaten dan provinsi. Banjir kali ini di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dan sejumlah kabupaten di Sulawesi Tenggara tercatat paling parah. Daya dukung lingkungan telah terlampaui.
SAMARINDA, KOMPAS Tahun ini saja pengendalian banjir Kota Samarinda menyerap anggaran setidaknya Rp 25 miliar. Dana dianggarkan dari APBN dan APBD Kalimantan Timur untuk pembangunan embung serbaguna, normalisasi Sungai Karang Mumus, dan peningkatan bendungan Benanga.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kaltim Rp 9,06 miliar untuk normalisasi Sungai Karang Mumus dan revitalisasi Kolam Retensi Vorpo Samarinda. Adapun pemerintah pusat menganggarkan Rp 16,737 miliar untuk pembangunan embung serbaguna, peningkatan Bendungan Benanga, dan penetapan sempadan waduk Lempake.
Pembahasan pengendalian banjir dilakukan di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Senin (17/6/2019). Pertemuan membahas mengatasi banjir yang meluas di Samarinda. Banjir tahun ini yang terparah, yang menyebabkan ribuan orang mengungsi, akses terputus, dan ribuan rumah terendam berhari-hari.
Kepala Bappeda Kaltim Zairin Zain mengatakan, dalam jangka pendek, pemerintah fokus memperbaiki drainase yang tersumbat. ”Untuk jangka panjang lima tahun ke depan, ada empat poin yang akan kami lakukan, yakni normalisasi sungai, relokasi, revitalisasi, dan konservasi,” kata Zairin.
Normalisasi akan dilakukan di sepanjang Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda. Sedimentasi di sekitar Sungai Karang Mumus mencapai 2 meter di Pasar Segiri. Sungai akan dikeruk. Permukiman di sepanjang bantaran sungai akan direlokasi dengan skema pembiayaan yang dibahas Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda. Sekitar 2.500 rumah di sepanjang Sungai Karang Mumus akan direlokasi.
Pemerintah juga akan merevitalisasi Waduk Benanga dengan pengerukan serta penyelesaian masalah lahan dan sosial. Di bagian hulu, izin pertambangan akan dievaluasi agar bukaan lahan terkendali.
Embung hilang
Masalah banjir di Samarinda tidak hanya di sepanjang Sungai Karang Mumus. Embung penampungan air di beberapa lokasi dialihfungsikan. Berdasarkan data Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III, kolam retensi dan embung penampung air berubah fungsi.
Embung Sempaja, Kolam Retensi Damhuri, dan Embung Bengkuring berubah menjadi permukiman. Embung Muang berubah jadi tambang batubara dan Embung Pampang Kanan jadi perkebunan kelapa sawit.
Kepala BWS Kalimantan III Anang Ichwan mengatakan, pengendalian embung terkendala pembebasan lahan. Solusi yang ditawarkan adalah pembebasan lahan yang berdampak signifikan terhadap banjir.
”Kami tinggal menunggu pembebasan lahan diselesaikan pemerintah kota dan provinsi, baru kami bisa melaksanakan tugas,” ujar Anang.
Mahyudin (59), warga RT 030, Kelurahan Temindung Permai, Samarinda Utara, berharap penanganan banjir tak sebatas rencana. Ia yang tinggal tak jauh dari Sungai Karang Mumus tak bisa bekerja saat banjir.
”Saya terima saja program pemerintah asal tidak terkena banjir setiap tahun. Ini banjir cukup parah, bisa 1,5 meter di rumah saya,” kata Mahyudin. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, pemerintah harus konsisten menyelesaikan masalah dari hulu. Pengendalian izin pertambangan harus diwujudkan.
Banjir Konawe
Di Sulawesi Tenggara, banjir di sejumlah wilayah masih tinggi. Di sebagian wilayah Konawe Selatan, misalnya, ketinggian air lebih dari 3 meter. Perbaikan kawasan hutan harus dilakukan karena 300.000 hektar hutan di Sultra kritis. Hingga hari ke-10, banjir masih tinggi di sebagian Konawe Selatan. Di Dusun III, Kecamatan Ranomeeto Barat, tinggi banjir lebih dari 3 meter merendam 30 rumah.
Puluhan keluarga mengungsi di sebuah SD dan belum bisa pulang. ”Sudah berhari-hari di sini. Air sudah turun sekitar 30 sentimeter, tetapi masih sampai atap rumah. Barang-barang sudah habis,” ucap Asman (27), pengungsi.
Menurut Asman, banjir kali ini paling parah. Air limpahan Sungai Konaweha cepat menggenangi kampung. Dalam hitungan jam, air mencapai bagian dalam rumah dan atap.
Irfan (30), pengungsi lain, menyebut, saat banjir 2013, air setinggi pinggang. Oleh karena itu, ia tinggikan fondasi. ”Sekarang sudah sampai atap, tertutup air semua,” katanya.
Wilayah Konawe Selatan merupakan satu dari empat kabupaten terdampak banjir parah beberapa hari terakhir. Di wilayah ini, 1.059 keluarga terdampak dengan 5.245 jiwa.
Banjir kali ini lebih dari dua minggu. Selain Konawe Selatan, banjir merendam Konawe, Konawe Utara, dan Kolaka Timur. Sedikitnya 50 kecamatan dengan ratusan desa/kelurahan terendam. Sekitar 10.000 keluarga terdampak, puluhan ribu jiwa mengungsi.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara Subandriyo mengatakan, dari hampir 900.000 hektar lahan kritis, sekitar 300.000 ha berada di kawasan hutan. Selebihnya di luar kawasan hutan.
”Kami perkirakan sekitar 60 persen wilayah Sultra ini masih tutupan hutan. Memang ada yang kritis, tetapi terus diperbaiki,” ucapnya. Sementara itu, banjir juga merendam Kabupaten Tanah Laut dan Tabalong, Kalimantan Selatan. Sepekan lalu, banjir melanda Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu.
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalsel Wahyuddin, banjir di Tanah Laut merendam 236 rumah. Ketinggian air sempat 1 meter, tetapi berangsur surut.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, banjir di Kalsel bukan hanya karena curah hujan tinggi, melainkan juga daya dukung dan daya tampung lingkungan rusak. (CIP/JAL/JUM)