Kualitas pelayanan publik oleh sejumlah instansi di Indonesia hingga kini masih menjadi sorotan. Peran Ombudsman sebagai pengawas dan perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya manusia dinilai cukup krusial.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Kualitas pelayanan publik sejumlah instansi di Indonesia dinilai masih belum optimal. Peran Ombudsman sebagai pengawas dan perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya manusia dinilai penting.
Pandangan ini disampaikan Kepala Bidang Magister Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Terbuka (UT) Darmanto dalam orasi ilmiahnya saat wisuda periode II tahun ajaran 2018/2019 UT dengan tema ”Peran Ombudsman RI untuk Menjamin Akuntabilitas Pelayanan Publik” di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (18/6/2019).
Di depan 982 wisudawan, Darmanto menilai, pelayanan penyelenggara negara dan pemerintahan kepada masyarakat hingga kini belum optimal. Hal itu, salah satunya, disebabkan oleh lemahnya akuntabilitas lembaga tersebut.
Menurut dia, sistem akuntabilitas merupakan prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. ”Akuntabilitas akan meningkatkan good governance karena adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat kepada pemberi mandat,” kata Darmanto.
Pelayanan publik kepada masyarakat diatur pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di dalamnya disebutkan bahwa masyarakat berhak mendapat pelayanan yang berkualitas dari negara dan pemerintah.
Dalam hal ini, Darmanto menganggap peran Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas eksternal menjadi sentral. Keberadaan Ombudsman salah satunya untuk menelisik adanya dugaan malaadministrasi pada sektor publik.
”Malaadministrasi adalah perilaku melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk mengabaikan kewajiban,” ujarnya.
Melalui Laporan 2019, Ombudsman menyusun sejumlah dugaan malaadministrasi terbanyak dalam pelayanan publik sepanjang 2018. Tiga malaadministrasi dengan jumlah terbanyak adalah penundaan berlarut sebanyak 2.215 laporan atau 35,33 persen, penyimpangan prosedur 1.490 laporan (23,76 persen), dan tidak memberikan pelayanan sebanyak 1.080 laporan (17,22 persen).
Adapun tiga instansi yang paling banyak dilaporkan terkait dugaan malaadministrasi adalah pemerintah daerah sebanyak 2.489 laporan (39,70 persen), kepolisian 801 dengan laporan (12,78 persen), dan instansi pemerintah atau kementerian sebanyak 700 laporan (11,16 persen).
Menurut anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, malaadministrasi terjadi, antara lain, karena adanya ketidakpatuhan pada standar layanan dan kompetensi petugas di lini depan. Selain itu, sistem pengawasan internal juga belum berjalan efektif.
”Ditambah adanya kelemahan sistemik di wilayah hulu pelayanan berupa kebijakan dan regulasi operasional yang tidak kompatibel,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Rektor UT Ojat Darojat menyampaikan bahwa perguruan tinggi harus bisa menjadi partner yang kritis dan suportif bagi Ombudsman. Dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) mumpuni dalam menjamin pelayanan publik yang berkualitas. Itu muncul dari perguruan tinggi.
”Dibutuhkan SDM yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas, berkomitmen, dan jujur. Tanpa itu, mereka akan mudah menyalahgunakan wewenang,” ujarnya.
Ojat menambahkan, UT sebagai perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memiliki fungsi utama memberikan pelayanan publik di bidang pendidikan. Keberadaan UT dan Ombudsman diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pelayanan publik yang optimal. ”Kami dengan Ombudsman sepakat untuk memerangi dan mencegah malaadministrasi,” katanya.