Menteri Yasonna Laoly menyebut, Nusakambangan hanya untuk narapidana berisiko tinggi dan koruptor tak termasuk di dalamnya. Sejumlah pakar hukum pidana pun keberatan karena pemindahan tidak menyelesaikan persoalan.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebut Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan hanya untuk narapidana berisiko tinggi dan narapidana korupsi tak termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, tidak mudah untuk bisa memuluskan usulan Komisi Pemberantasan Korupsi agar narapidana korupsi dipindahkan ke Nusakambangan.
”Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Nusakambangan itu lapas pengamanan supermaksimum untuk narapidana tingkat high risk atau risiko tinggi. Sementara napi koruptor tidak termasuk kategori itu. Jadi, itu persoalannya,” kata Yasonna Laoly di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Narapidana di lapas dengan pengamanan supermaksimum pada umumnya adalah narapidana teroris, bandar narkoba, atau pelaku kejahatan pembunuhan yang dipidana mati atau mendapat hukuman seumur hidup.
Pada Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan disebutkan bahwa narapidana tingkat risiko tinggi merupakan terpidana yang memenuhi kategori membahayakan keamanan negara dan/atau membahayakan keselamatan masyarakat.
Pemerintah, lanjut Yasonna, memang tengah membangun lapas lain di Nusakambangan, yaitu Lapas Karanganyar. Namun, lapas berkapasitas 1.000 narapidana itu pun akan dijadikan lapas dengan pengamanan supermaksimum.
”Tetapi, itu (Lapas Karanganyar), kan, untuk terorisme dan bandar narkoba, bukan yang lain,” katanya.
Pernyataan Yasonna ini berbeda dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sebelumnya.
Menurut Wiranto, lapas yang baru dibangun di Nusakambangan akan dimanfaatkan bagi narapidana berisiko tinggi, termasuk narapidana korupsi. Ini sambil menunggu pembangunan lapas lain di pulau terpencil yang khusus bagi terpidana korupsi.
Wiranto sepaham dengan KPK bahwa pemindahan narapidana korupsi ke tempat terpencil, seperti Nusakambangan, akan membuat mereka tak lagi berpikir keluar tahanan selama masa penahanan atau bahkan kabur.
Isu pemindahan narapidana korupsi ke Nusakambangan muncul setelah beberapa hari lalu narapidana korupsi Setya Novanto menyalahgunakan izin berobat. Dia sempat kabur selama setidaknya empat jam.
Penyalahgunaan izin berobat tidak hanya terjadi kali ini saja. Sudah banyak narapidana korupsi yang melakukan hal serupa. Tak hanya itu, di Lapas Sukamiskin, Bandung, tempat para koruptor ditahan, kerap dijumpai banyak penyalahgunaan lain. Salah satunya, sel tahanan yang telah disulap sehingga tidak lagi mirip tahanan.
Berisiko terulang
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, usulan kepada Kementerian Hukum dan HAM agar narapidana korupsi dipindahkan ke Lapas Nusakambangan bertujuan supaya pengamanan terhadap para napi lebih maksimal. Ini karena mereka berisiko tinggi mengulang tindak pidana korupsi selama di tahanan.
”Kami menduga praktik seperti ini sangat berisiko terjadi untuk pihak lain, yaitu menyuap petugas lapas untuk mendapatkan fasilitas tertentu ataupun bentuk pemberian gratifikasi dan uang pelicin. Jadi, sangat logis jika mereka ditempatkan di lapas pengamanan maksimum,” kata Febri.
Selain itu, tidak semua lapas di Nusakambangan berkategori pengamanan supermaksimum seperti disebutkan Yasonna. ”Lapas Nusakambangan tidak hanya ada lapas dalam kategori supermaximum security, tetapi juga ada maximum, medium, hingga minimum security,” kata Febri.
Lapas kategori pengamanan supermaksimum di Nusakambangan hanya Lapas Batu dan Pasir Putih. Sementara Lapas Besi dan Kembang Kuning merupakan lapas berkategori pengamanan maksimum. Adapun lapas kategori medium adalah Permisan dan kategori minimum Lapas Terbuka Nusakambangan.
Dari kajian yang dilakukan KPK dan sudah dikoordinasikan bersama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, para narapidana kasus korupsi tertentu dapat ditempatkan di lapas pengamanan maksimum.
Tak menjamin
Namun, menurut pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, dipindah ke mana pun para narapidana korupsi, mereka masih bisa korupsi selama mental petugas tahanan masih belum baik. Maka, persoalannya bukan pada lokasi di mana para narapidana korupsi ditempatkan, tetapi lebih pada bagaimana mental petugas diperbaiki.
Dia mengusulkan agar ada petugas lapas khusus yang menjaga para narapidana korupsi. Para petugas ini haruslah mereka yang sudah terbukti integritasnya dan memiliki mental antikorupsi.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, juga menilai, pembenahan tata kelola lapas jauh lebih penting.
”Dalam tata kelola lapas, bukan hanya narapidana yang perlu dibina. Saat ini, para petugas lapas pun penting untuk dibina. Sebab, jika terus dibiarkan, ini akan menjadi potret penegakan hukum yang tidak baik,” ujar Yenti.