Penegakan Hukum Kejahatan Sumber Daya Alam Belum Optimal
›
Penegakan Hukum Kejahatan...
Iklan
Penegakan Hukum Kejahatan Sumber Daya Alam Belum Optimal
Penegakan hukum terhadap kejahatan sumber daya alam dinilai belum optimal dan hanya menyasar pelaku lapangan dan belum bisa mengungkap jaringan yang lebih luas. Kapasitas dan perspektif lingkungan para penegak hukum perlu diperkuat untuk meningkatkan kualitas penyelidikan dan menjerat para aktor utama pelaku kejahatan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Penegakan hukum terhadap kejahatan sumber daya alam dinilai belum optimal, hanya menyasar pelaku lapangan dan belum bisa mengungkap jaringan yang lebih luas. Kapasitas dan perspektif lingkungan para penegak hukum perlu diperkuat untuk meningkatkan kualitas penyelidikan dan menjerat para aktor utama pelaku kejahatan.
”Sumber daya alam di Indonesia terus mengalami degradasi yang memprihatinkan, sementara penegakan hukum tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan,” kata Kepala Satuan Tugas Sumber Daya Alam (Satgas SDA) Lintas Negara Kejaksaan Agung Marang di Medan, Sumatera Utara, Selasa (18/6/2019).
Marang menyampaikan hal tersebut dalam pelatihan bertema ”Peningkatan Kapasitas Penuntut Umum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Satwa Liar” yang diselenggarakan Kejaksaan Agung bekerja sama dengan International Animal Rescue Indonesia. Hadir pada pelatihan tersebut para penuntut umum dari kejaksaan negeri di Sumatera Utara.
Marang mengatakan, Kejaksaan Agung membentuk Satgas SDA Lintas Negara karena penanganan kasus kejahatan SDA membutuhkan konsentrasi dalam penanganan perkara. Saat ini, modus operandi dan tipologi kejahatan lingkungan semakin berkembang. Keberhasilan penanganan perkara dinilai belum optimal juga disebabkan banyaknya peraturan yang tersebar secara sektoral.
Satgas SDA Lintas Negara, kata Marang, akan melakukan penanganan perkara dalam tiga jenis kejahatan, yakni kejahatan lingkungan hidup dan perikanan, kehutanan dan konservasi SDA hayati, serta pertambangan dan migas.
Menurut Marang, penegakan hukum di bidang SDA selama ini masih hanya berkonsentrasi di hilir. Para pelaku yang ditindak sebagian besar hanya pelaku lapangan, seperti para petani yang berburu di hutan dan kurir yang mengangkut hasil perdagangan satwa ilegal. Sementara aktor intelektual yang mengendalikan jaringan perdagangan satwa ilegal sangat sulit disentuh.
Kepala Unit 5 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Sugeng Irianto mengatakan, kejahatan SDA, khususnya perdagangan satwa ilegal, masih terus terjadi karena tingginya permintaan pasar luar negeri. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas untuk menyelamatkan SDA Indonesia.
”Kita harus menyadari bahwa pasar luar negeri sangat menginginkan satwa endemik Indonesia, seperti komodo, cendrawasih, orangutan, trenggiling, dan satwa lainnya. Mereka tidak peduli berapa pun harganya, pasti akan beli,” kata Sugeng.
Ia mengatakan, perdagangan satwa ilegal semakin meningkat pada periode 2015 hingga 2019 karena perkembangan media sosial. Pada periode tersebut, Polri menangani 249 kasus dengan 237 tersangka. Sebanyak 14 di antaranya merupakan warga negara asing.
Kepala Subdirektorat Penyidikan Perambahan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Supartono mengatakan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah (megabiodiversity), tetapi setiap spesies rentan terhadap kepunahan karena populasinya yang hanya hidup endemik di tempat tertentu.
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati pun sangat tinggi karena permintaan pasar luar negeri, nilai ekonomis yang tinggi, hobi, kerusakan habitat, dan konflik dengan manusia. ”Karena itu, penegakan hukum menjadi salah satu jalan untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan,” kata Sugeng.