JAKARTA, KOMPAS — Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia belum mendesak dilakukan kendati pertumbuhan ekonomi dan inflasi terjaga. Daya tarik suku bunga mesti dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan modal asing.
Chief Economist ASEAN+3 Macroeconomic Research Office Khor Hoe Ee mengatakan, kondisi keuangan global pada tahun ini akan berbeda dari 2018. Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter dan indikasi pemangkasan suku bunga acuan pada triwulan II-2019.
”Beberapa bank sentral di kawasan, seperti Malaysia, Filipina, India, dan Australia, juga mulai memangkas suku bunga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negaranya,” kata Hoe dalam konferensi pers Proyeksi Ekonomi Regional ASEAN+3 di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Peningkatan tensi perang dagang AS-China menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang berada dalam rantai pasok global, terutama bidang teknologi. Oleh karena itu, beberapa bank sentral memangkas suku bunga acuan untuk menstimulus perekonomian.
Meski demikian, menurut Hoe, situasi berbeda justru dialami Indonesia. Pemangkasan suku bunga acuan belum diperlukan karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih terjaga. Kondisi ekonomi Indonesia dinilai tidak terdampak signifikan oleh perang dagang.
”Perekonomian Indonesia masih tumbuh di atas 5,1 persen sehingga tidak ada alasan kuat bagi Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga. Terlebih, inflasi ada di batas bawah target,” ujar Hoe.
Pemangkasan suku bunga acuan belum diperlukan karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih terjaga. Kondisi ekonomi Indonesia dinilai tidak terdampak signifikan oleh perang dagang.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,17 persen, sementara pada 2019 ditargetkan 5,3 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen.
Sementara inflasi sepanjang kalender (Januari-Mei 2019) sebesar 1,48 persen. Angka itu masih di bawah target BI dan pemerintah, yaitu 3,5 persen.
Hoe mengatakan, selain faktor eksternal, pemangkasan suku bunga acuan harus mempertimbangkan kinerja neraca pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan akibat impor bahan baku dan barang modal mesti dikompensasi surplus transaksi modal dari investasi portofolio atau penanaman modal asing.
”BI tetap harus mewaspadai kondisi internal dalam memutuskan pemangkasan suku bunga,” kata Hoe.
Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam rapat kerja Komisi XI DPR, Senin malam, mengatakan, pasar keuangan global masih diselimuti ketidakpastian sehingga pembalikan arus modal asing masuk bisa terjadi sewaktu-waktu. Kondisi itu berisiko bagi pembiayaan defisit transaksi berjalan yang masih tergantung pada investasi portofolio.
”Terlebih, pada triwulan II secara pola musiman, defisit transaksi berjalan akan lebih tinggi dibandingkan triwulan lain karena ada pembayaran utang dan repatriasi dividen,” kata Perry.
Perry, secara teoretis, BI memang memiliki ruang untuk pemangkasan suku bunga acuan karena inflasi yang rendah. Namun, BI masih harus mencermati kondisi pasar keuangan global dan neraca pembayaran Indonesia. Keputusan itu bukan berarti BI tidak mendukung perekonomian tumbuh tinggi.
Hati-hati
Dihubungi secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, suku bunga acuan BI berkaitan erat dengan kurs rupiah. Oleh karena itu, keputusan penurunan suku bunga harus hati-hati karena perubahan kurs bisa memperburuk defisit transaksi berjalan.
Di sisi lain, lanjut Piter, penurunan suku bunga acuan BI tidak serta-merta mendorong perekonomian tumbuh tinggi. Hal itu karena penurunan suku bunga acuan BI belum tentu diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan. Selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia terkendala modal investasi yang mahal.
”Di Indonesia terjadi anomali karena penurunan suku bunga acuan BI tidak berarti mengakhiri ekonomi berbiaya tinggi,” kata Piter.
Menurut Piter, suku bunga kredit perbankan nyaris tidak bergerak turun ketika tren suku bunga acuan BI menurun dari 7,25 persen pada 2018 menjadi 4,25 persen pada April 2018. Suku bunga kredit perbankan tertahan di level 10-11 persen hingga saat ini. Pemerintah mesti mengevaluasi struktur suku bunga kredit perbankan yang dinilai terlalu kaku.