Sebanyak 50 izin penggunaan kawasan hutan untuk industri tambang di Sulawesi Tenggara dikeluarkan hingga tahun 2018. Dari jumlah itu, baru empat perusahaan yang melakukan kewajiban merehabilitasi lahan kritis.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sebanyak 50 izin penggunaan kawasan hutan untuk industri tambang di Sulawesi Tenggara dikeluarkan hingga tahun 2018. Dari jumlah itu, baru empat perusahaan yang melakukan kewajiban merehabilitasi lahan kritis. Banjir parah yang menggenangi sejumlah daerah di wilayah ini ditengarai akibat rusaknya kawasan hutan dan kritisnya wilayah daerah aliran sungai.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat 50 perusahaan yang mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) hingga tahun 2018. Total luas lahan hutan yang diizinkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi sebesar 43.638 hektar. Sebagian besar dari perusahaan pemegang izin ini bergerak di bidang pertambangan nikel, aspal, dan emas.
Kabupaten Konawe Utara adalah daerah dengan izin terbanyak, yaitu 23 izin, dengan total luas 10.158 ha. Wilayah ini merupakan salah satu lokasi banjir terparah yang merendam tujuh kecamatan dengan empat kecamatan di antaranya terisolasi.
”Yang paling banyak memang di Konawe Utara. Dari 23 izin itu, ada dua izin yang baru eksplorasi, artinya tidak wajib merehabilitasi lahan. Lalu, belum semua lahan yang ada semuanya sudah benar-benar diolah perusahaan. Kami terus memonitor dan mengawasi penggunaan hutan,” tutur Subandriyo, Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Selasa (18/6/2019).
Sebagian besar izin ini, lanjutnya, berada di dalam kawasan hutan sekunder atau yang pernah diolah sebelumnya. Hanya sedikit yang berada di dalam kawasan hutan primer karena ketatnya aturan pemanfaatan.
Subandriyo menjelaskan, IPPKH dikeluarkan Kementerian Kehutanan setelah melalui proses yang panjang. Pihaknya hanya memberikan pertimbangan teknis dan gubernur memberikan rekomendasi. Dalam pelaksanaan nantinya, ia akan mengawasi dan memonitor.
Semua perusahaan pemegang izin eksploitasi juga wajib merehabilitasi lahan kritis seluas sama dengan lokasi eksploitasi ditambah 10 persen. Namun, dari total 50 perusahaan pemegang IPPKH tersebut, baru empat perusahaan yang sampai saat ini merehabilitasi lahan.
”Mereka sedang memulai proses rehabilitasi. Sebagian lainnya dalam proses penyiapan bibit dan akan merehabilitasi. Sulitnya juga karena beberapa pemegang izin telah mengantongi izin sebelum tahun 2014. Saat itu, belum ada kewajiban merehabilitasi,” ujarnya.
Menurut Subandriyo, hutan di wilayah Sultra masih dalam kondisi relatif baik. Ia menilai, banjir besar yang melanda sejumlah kabupaten bukan karena lahan hutan yang kritis, melainkan karena curah hujan yang tinggi, topografi wilayah yang landai, dan jenis sebagian besar tanah yang memang mudah jenuh.
Di satu sisi, pihaknya tidak menafikan jika terdapat lahan kritis di wilayah hutan sekitar 300.000 ha. Perambahan dan dan alih fungsi hutan juga terjadi dalam kurun waktu yang lama.
”Berdasarkan pertemuan dengan sejumlah akademisi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti penyebab banjir. Kami berharap segera ada hasil untuk menentukan langkah perbaikan ke depan,” ucapnya.
Banjir parah yang berlangsung lebih dari dua minggu dengan ketinggian air hingga 4 meter ini ditengarai akibat rusaknya kawasan hutan di hulu, juga kritisnya kondisi daerah aliran sungai (DAS). Pembukaan area untuk industri pertambangan dan perkebunan skala besar diduga kuat menjadi penyebab.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, sejak 2001 sampai 2017, wilayah Konawe Utara kehilangan 45.600 ha tutupan pohon. Dalam kurun yang sama, pertambangan dan sawit juga mengubah hutan primer seluas 954 ha dan hutan alam 2.540 ha. Total jumlah izin usaha pertambangan (IUP) se-Sultra sekitar 400 izin.
Saharuddin, Direktur Eksekutif Walhi Sultra, menjelaskan, pertambangan dan perkebunan skala besar telah mengubah wajah lingkungan Sultra sehingga rentan terhadap bencana. Pertambangan menjadi penyebab paling besar terjadinya sedimentasi di wilayah DAS, sementara perkebunan khususnya kelapa sawit mengubah wajah hutan dan mengubah kemampuan tanah menyerap air.
Pertambangan dan perkebunan skala besar telah mengubah wajah lingkungan Sultra sehingga rentan terhadap bencana.
”Untuk contoh pertambangan saja, di Konawe Utara ada sekitar 200.000 ha lahan yang masuk dalam izin usaha pertambangan. Padahal, luas wilayah kabupaten ini hanya sekitar 500.000 ha. Hampir setengahnya untuk tambang. Belum lagi dengan maraknya tambang ilegal, juga illegal logging,” tuturnya.
”Pertanyaannya, mengapa izin pertambangan terus dikeluarkan, sementara kondisi hutan dan lingkungan kita sendiri kritis?” lanjutnya.
Untuk itu, kata Saharuddin, pemerintah harus mengambil langkah penyelesaian menyeluruh dengan adanya bencana banjir parah seperti sekarang ini. Revisi izin serta menggunakan kajian lingkungan hidup strategis sebagai pedoman dan amdal yang benar-benar sesuai peruntukan adalah beberapa langkah yang ia rekomendasikan.
Longsor di Konawe Utara
Sementara itu, banjir besar masih menggenangi Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan, juga Kolaka Timur hingga Selasa siang. Banjir parah ini merendam sekitar 50 kecamatan dan membuat sekitar 10.000 rumah tangga terdampak. Puluhan ribu warga masih mengungsi di posko pengungsian.
Di Konawe Utara, selain tingginya banjir yang menggenangi jalan, longsor juga menutupi jalan, menyebabkan sejumlah wilayah terisolasi. Longsor diketahui terjadi di Kecamatan Oheo sehingga membuat akses transportasi darat semakin sulit.
”Ada longsor di Kecamatan Oheo sehingga jalur benar-benar tidak bisa tembus. Longsornya di kawasan hutan sehingga tidak mengenai kawasan permukiman,” kata Rahmatullah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Konawe Utara.
Menurut dia, longsor yang menutupi jalan belum bisa disingkirkan karena memerlukan alat berat. Sementara jalan menuju lokasi longsor sebagian masih tertutup banjir dengan tinggi lebih dari 1 meter. Meski begitu, Jembatan Asera yang awalnya ambrol karena banjir sekarang sudah bisa dilalui kendaraan.
”Semoga air cepat surut dan perbaikan bisa dilakukan. Sekarang ini penyaluran logistik masih mengandalkan jalur udara dan perahu karet,” ucap Rahmatullah.
Editor:
Cornelius Helmy Herlambang
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.