Pesatnya laju pertumbuhan utang luar negeri sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara, merefleksikan tingginya kebutuhan pendanaan sektor riil. Investasi berorientasi ekspor perlu diperkuat guna meningkatkan kemampuan pembayaran utang.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pesatnya laju pertumbuhan utang luar negeri sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara, merefleksikan tingginya kebutuhan pendanaan sektor riil. Investasi berorientasi ekspor perlu diperkuat guna meningkatkan kemampuan pembayaran utang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai, peningkatan laju utang luar negeri swasta menunjukkan biaya pinjaman luar negeri lebih murah dan minim risiko nilai tukar ketimbang pinjaman di dalam negeri.
“Biaya pinjaman usaha di dalam negeri menjadi mahal dan menghambat potensi ekspansi maupun investasi,” ujarnya di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Kebutuhan sektor riil terhadap pendanaan, kata Eko, terefleksi oleh tingkat utang luar negeri di sektor swasta dan BUMN pada April 2019 yang tumbuh pesat, mencapai 199,6 miliar dollar AS atau tumbuh 14,5 persen dibanding April 2018.
Di sisi lain, pertumbuhan utang luar negeri swasta dinilai menunjukkan kondisi bisnis yang sehat karena diringi perlambatan pertumbuhan utang luar negeri pemerintah yang hanya tumbuh 3,4 persen. Pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan posisi Maret 2019 di angka 3,6 persen.
Eko menambahkan, apabila investasi asing semakin baik pada masa depan, utang luar negeri swasta juga akan terus meningkat. Terlebih setelah lembaga pemeringkat S&P menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- ke BBB.
“Pemerintah tetap perlu memperhatikan kemampuan bayar utang. Perlu diwaspadai, jangan sampai utang naik tetapi tidak dibarengi kemampuan bayar,” ujarnya.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual memandang situasi utang luar negeri mencerminkan semakin ekspansifnya sektor swasta. Pasalnya sektor swasta lebih banyak melakukan capital spending.
Utang luar negeri sektor swasta terbagi menjadi dua keperluan yaitu modal kerja dan investasi. Berdasarkan catatan BI, utang untuk modal kerja sebesar 112 miliar dollar AS atau naik 11,22 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun untuk keperluan investasi sebesar 65,17 miliar dollar AS, tumbuh 16,8 persen secara tahunan.
“Investasi yang masuk harus diperkuat terutama yang berorientasi ekspor. Pasalnya ini membantu juga meningkatkan kemampuan membayar utang,” kata David.
Suku bunga
Eko menilai, di tengah potensi perlambatan ekonomi saat ini, penurunan suku bunga akan memberi efek positif yang cukup besar bagi sektor riil. Pasalnya, biaya pinjaman usaha di dalam negeri saat ini masih mahal dan menghambat potensi ekspansi maupun investasi.
BI, lanjut Eko, tidak bisa terus-menerus main aman dengan menjaga arus masuk modal portofolio dan menjaga stabilitas rupiah saja. Indonesia lebih membutuhkan arus masuk investasi langsung di sektor riil untuk memastikan laju ekonomi berkelanjutan
“Sektor riil membutuhkan sumber pendanaan yang sifatnya lebih sustainable (berkelanjutan) ketimbang modal hot money yang mudah datang dan pergi,” ujarnya.
Di sisi lain, tren suku bunga negara-negara lain telah mengarah pada penurunan. Eko memandang terdapat ruang bagi BI untuk mulai menurunkan suku bunga setidaknya 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan ini.