Ritual Bakar Tongkang Bagan Siapi-api Disesaki Pengunjung
›
Ritual Bakar Tongkang Bagan...
Iklan
Ritual Bakar Tongkang Bagan Siapi-api Disesaki Pengunjung
Puluhan ribu orang tumpah ruah berdesak-desakan pada festival bakar tongkang di Bagan Siapi-api, ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Rabu (19/6/2019). Warga kota bercampur wisatawan domestik dan mancanegara mengikuti puncak acara itu.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
BAGAN SIAPI-API, KOMPAS — Puluhan ribu orang tumpah ruah berdesak-desakan pada Festival Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Rabu (19/6/2019). Warga kota bercampur wisatawan domestik dan mancanegara mengikuti puncak acara itu.
Festival tahunan itu menjadi ritual menggambarkan kedatangan awal nenek moyang warga China di Bagan Siapi-api. Maka, ribuan orang dari banyak daerah yang memiliki garis keturunan dari kota itu pun meramaikan acara yang ditunggu-tunggu itu.
Tahun ini, diperkirakan 50.000 perantau datang khusus. Mereka tampak antusias mengikuti festival, khususnya saat ritual bakar tongkang berukuran besar itu. Kegiatan itu diklaim hanya ada di Bagan Siapi-api.
Bagi warga keturunan China Bagan Siapi-api, tradisi bakar tongkang memiliki nilai tinggi dalam ritual keagamaan.
Kepala Dinas Pariwisata Rokan Hilir Ali Asfar mengatakan, ritual bakar tongkang tersebut murni inisiatif warga keturunan China Bagan Siapi-api. Pemerintah daerah sama sekali tidak membantu dalam pendanaan.
”Kami hanya membantu kelancaran tradisi ini. Misalnya untuk membantu keamanan dan dukungan non-teknis lainnya. Kami pun melakukan acara prabakar tongkang, tiga hari sebelum perayaan,” kata Asfar.
Menurut Rendy Gunawan, Ketua Yayasan Multi Marga, paguyuban seluruh marga etnis China Bagan Siapi-api, antusiasme peserta juga sampai di luar negeri. Setidaknya, ada warga keturunan China Bagan Siapi-api yang datang dari Perancis.
Selain itu, sebagian besar juga datang dari Medan, Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Namun, ada pula yang datang dari Singapura, Malaysia, dan Taiwan.
Bakar tongkang ini berkaitan dengan sejarah nenek moyang warga Bagan Siapi-api. Mereka meninggalkan Kota Fujian di China daratan untuk mencari kehidupan yang lebih baik sekitar abad ke-19. Mereka berangkat menggunakan kapal kayu yang disebut tongkang mengarungi Laut China Selatan.
Terkatung-katung di tengah lautan, didera ombak dan badai, warga China yang seluruhnya bermarga Ang itu nyaris putus asa. Mereka kemudian berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya untuk meminta keselamatan.
Tidak lama kemudian, rombongan keluarga Ang melihat kerlap-kerlip cahaya dari tepian pantai. Cahaya itu menyala seperti api, tetapi sebenarnya berasal dari sinar kunang-kunang. Tongkang kemudian merapat ke daratan dan seluruh rombongan selamat dari malapetaka. Tempat pendaratan itu kemudian disebut Bagan Siapi-api.
Mereka pun berterimakasih kepada Dewa Kie Ong Ya karena bermukim di tanah yang baru didarati tersebut. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, mereka membakar tongkang dan berjanji tidak akan kembali ke kampung halamannya. Ritual bakar tongkang itu terus berkembang selama ratusan tahun.
Kendala akomodasi
Menurut Asfar, acara bakar tongkang pada tahun ini masih memiliki kendala, terutama minimnya fasilitas kamar hotel dan penginapan yang tersedia. Puluhan wisatawan asal Medan dan Jakarta bahkan terpaksa harus tidur di bus karena ketiadaan kamar.
Bagi warga keturunan China Bagan Siapi-api, tradisi bakar tongkang memiliki nilai tinggi dalam ritual keagamaan. Bahkan, nilainya lebih tinggi dibandingkan hari raya Imlek.
Hal itu dibenarkan Acuan (72), warga Muara Angke, Jakarta, yang datang ke Bagan Siapi-api sejak tiga hari lalu. Acuan lahir di Kota Bagan Siapi-api dan merantau pindah ke Jakarta 20 tahun lalu.
”Anak saya empat orang dan seluruhnya di Jakarta. Makanya, saya pindah untuk tetap dekat dengan mereka. Namun, setiap acara bakar tongkang, saya berusaha datang ke Bagan Siapi-api karena ada kerinduan terhadap acara yang saya ikuti sejak saya kecil,” katanya.