Industri Kayu Olahan Indonesia Dapat Berkah Perang Dagang AS-China
›
Industri Kayu Olahan Indonesia...
Iklan
Industri Kayu Olahan Indonesia Dapat Berkah Perang Dagang AS-China
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang dagang antara China dan Amerika Serikat menjadi peluang bagi industri kayu olahan asal Indonesia. Industri kayu olahan Indonesia dapat memanfaatkan pengalihan impor kayu olahan China oleh Amerika Serikat asalkan produknya berdaya saing.
Menurut Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, pertumbuhan industri kayu olahan dan turunannya seharusnya mampu menopang pemanfaatan peluang perang dagang antara AS dan China. ”Situasi perang dagang antara AS dan China memberikan berkah bagi perkembangan industri pengolahan kayu nasional,” katanya saat dihubungi, Rabu (19/6/2019).
Kementerian Perindustrian mengelompokkan industri pengolahan kayu menjadi, kertas dan barang dari kertas; kayu, barang dari kayu, dan gabus; serta industri furnitur. Sepanjang 2018, pertumbuhan ekspor ketiga kelompok itu secara berturut-turut mencapai 14,83 persen, 10,03 persen, dan 4,96 persen.
Meskipun demikian, Rochim berpendapat, industri kayu dan olahan Vietnam dan Malaysia lebih siap dalam memanfaatkan peluang perang dagang tersebut. Agar tidak tertinggal, pemerintah tengah mengupayakan peningkatan sumber daya manusia yang terampil dan pelaku wirausaha melalui politeknik industri pengolahan kayu dan furnitur di Kendal.
Industri kayu dan olahan Vietnam dan Malaysia lebih siap dalam memanfaatkan peluang perang dagang tersebut.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menyatakan, pihaknya memperoleh kesepakatan untuk menjajaki relokasi industri hulu kehutanan dari China ke Indonesia sebagai dampak perang dagang. Kesepakatan ini didapatkan dari pertemuan ke-60 Komite Penasihat Industri Kehutanan Berkelanjutan (ACSFI) di Kanada. Adapun produk yang disepakati adalah polywood.
Produk industri pengolahan kayu memiliki keunggulan sebagai komoditas ekspor karena bahan bakunya berasal dari dalam negeri dan tidak memerlukan impor barang modal sehingga kandungan lokalnya tinggi. Indroyono berpendapat, produk kayu olahan seharusnya mampu menggenjot ekspor nasional dan memperbaiki kinerja neraca perdagangan.
Secara umum, agar produk industri pengolahan kayu berdaya saing, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar berpendapat, Indonesia membutuhkan mekanisasi dan modernisasi. Pemanfaatan mesin dalam proses industri dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu dan tenaga manusia dalam pengolahan.
Manfaatkan potensi
Indroyono menyebutkan, pihaknya juga mendapatkan keterbukaan pasar ekspor serpih kayu hasil Hutan Tanaman Industri ke Korea Selatan. Produk tersebut akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan energi terbarukan.
Dari pertemuan bisnis dengan pelaku industri di Vietnam, Indroyono mengatakan, pihaknya mendapatkan potensi ekspor moulding dari kayu Hutan Tanaman Industri Akasia dan kayu gergajian dari tanaman karet. Nilainya diproyeksikan 2,4 miliar dollar AS.
Berdasarkan risetnya, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia memproyeksikan potensi ekspor kayu olahan berbentuk moulding dari Hutan Tanaman Industri non-pulp bernilai 1 miliar dollar AS dengan volume 3,3 juta meter kubik per tahun. Adapun potensi ekspor dari kayu hasil peremajaan karet rakyat sebagai bahan baku kayu gergajian senilai 1 miliar dollar AS dengan volume 3,4 juta meter kubik per tahun.
Untuk memanfaatkan potensi-potensi ini, Indroyono mengharapkan, pemerintah mengadakan kebijakan yang mendekatkan industri kecil dan menengah (IKM) pengolah kayu dengan sentra pengolahan kayu. Dalam hal ini, izin pendirian IKM mesti dipermudah.
Di sisi lain, Haris berpendapat, IKM pengolah kayu idealnya berada di kawasan yang sama dengan sentra industri skala besar sebagai offtaker-nya. ”Namun, hal ini butuh kerja sama dengan pihak swasta besar untuk menggaet IKM di dekat wilayah pengelolaannya,” katanya.