Ketidakpercayaan Terhadap Vaksin Jadi Masalah Global
Ketidakpercayaan masyarakat dunia terhadap vaksin adalah langkah mundur dalam perang melawan penyakit menular dan mematikan. Sejak pertama kali ditemukan akhir abad ke-18, vaksin mampu meningkatkan kesejahteraan warga dunia. Namun, meningkatnya kampanye antivaksin beberapa tahun terakhir memunculkan kembali penyakit-penyakit menular yang dulu pernah dibasmi.
Mewabahnya campak di sejumlah negara pada 2018-2019 menunjukkan besarnya dampak dari diabaikannya penggunaan vaksin. Keputusan untuk tidak mengikuti vaksinasi, apapun alasannya, tidak hanya berdampak pada diri sendiri namun juga orang lain. Sifat vaksin yang hanya efektif jika makin banyak orang divaksin membuat penolakan sebagian orang akan memengaruhi kekebalan komunitas.
Studi global yang dilakukan Wellcome Trust terhadap 140.000 orang di lebih dari 140 negara menunjukkan besarnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin. Hasil studi tersebut menunjukkan 79 persen responden setuju jika vaksin aman. Namun yang tidak setuju mencapai 7 persen dan 14 persen tidak menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya.
Selanjutnya, sebanyak 84 persen setuju vaksin efektif bekerja mencegah penyakit. Sementara responden yang tidak setuju dan tidak menyatakan sikapnya terhadap efektivitas vaksin itu masing-masing secara berurutan mencapai 5 persen dan 12 persen.
Situasi itu membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan keragu-raguan terhadap vaksin menjadi satu dari 10 ancaman terbesar terhadap kesehatan global. Otoritas kesehatan di setiap negara pun perlu mewaspadai situasi itu.
“Kami prihatin dengan situasi ini. Cakupan imunisasi yang kurang dari 95 persen bisa memicu munculnya wabah dan hal itulah yang terjadi pada wabah campak saat ini,” kata Imran Khan dari Wellcome Trust kepada BBC.
Untuk Indonesia, survei Wellcome Trust yang dikutip dari BBC, Rabu (19/6/2019), menunjukkan 83 persen orang Indonesia setuju vaksin aman, 6 persen tidak setuju vaksin aman, dan 11 persen bersikap diluar itu.
Sementara 70 persen orang Indonesia setuju vaksin efektif, 11 persen tidak setuju dan 18 persen tidak menyatakan sikapnya. Namun, 93 persen responden setuju vaksin penting bagi anak-anak, 3 persen tidak setuju dan 4 persen tidak menyatakan sikapnya.
Namun, 88 persen orangtua mengaku memvaksin anak-anak mereka. Hanya 8 persen responden Indonesia yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap ilmuwan yang mampu menjelaskan soal vaksin. Sebanyak 54 responden memiliki kepercayaan menengah, 20 persen memiliki kepercayaan rendah dan 17 persen responden tidak menyatakan pendapatnya terkait kepercayaan terhadap ilmuwan.
Meski demikian, tingkat persetujuan orang Indonesia bahwa vaksin aman, vaksin efektif mencegah penyakit dan vaksin penting bagi anak-anak masih lebih rendah dibanding rerata di negara-negara Asia Tenggara lain. Hal itu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, otoritas kesehatan hingga tenaga kesehatan dan warga untuk meningkatkan kepercayaan terhadap vaksin.
Pertahanan terbaik
Hingga kini, vaksinasi masih menjadi cara terbaik mencegah penularan dan mengurangi tingkat keparahan paparan sejumlah penyakit infeksi. Vaksin terbukti melindungi miliaran penduduk Bumi. Vaksin mampu menyingkirkan penyakit campak, meski kini penyakit ini muncul kembali. Kini, dunia pun sedang berusaha mengeliminasi polio, juga dengan vaksin.
Kemunculan kembali campak yang melanda sejumlah negara, termasuk negara-negara maju, terjadi seiring dengan menurunnya kepercayaan terhadap vaksin. Sejumlah orang dan kelompok masyarakat secara terang-terangan menolak, menentang, dan mengampanyekan antivaksin.
Penolakan itu umumnya didasari oleh rasa takut dan informasi yang salah. Penolakan itu juga berlangsung di banyak negara serta menyebar makin luas dan cepat seiring berkembangnya internet dan media sosial.
Ahli imunisasi WHO Ann Lindstrand mengatakan situasi penolakan vaksin yang terjadi saat ini merupakan masalah serius. Munculnya keraguan terhadap vaksin secara nyata telah menghambat kemajuan dunia dalam mengendalikan penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah.
“Setiap kebangkitan atau kemunculan kembali penyakit-penyakit yang telah berhasil dieliminasi adalah langkah mundur yang tidak dapat diterima,” katanya.
Setiap kebangkitan atau kemunculan kembali penyakit-penyakit yang telah berhasil dieliminasi adalah langkah mundur yang tidak dapat diterima.
Wabah campak yang muncul di berbagai negara selama beberapa tahun terakhir, umumnya terjadi di negara-negara yang sudah hampir berhasil menghapus penyakit ini. WHO mencatat, jumlah kasus campak pada 2017 naik sebesar 30 persen dibanding tahun 2016.
Di antara negara-negara dengan tingkat ketidakpercayaan terhadap vaksin yang meningkat justru terjadi di negara-negara maju yang berpenghasilan tinggi. Perancis adalah salah satunya. Di negara yang kini menghadapi wabah campak itu, satu dari tiga penduduknya tidak setuju bahwa vaksin aman. Itu adalah persentase tertinggi di seluruh dunia untuk negara yang tidak yakin bahwa vaksin aman.
Jumlah penduduk Perancis yang juga tidak setuju bahwa vaksin efektif dan vaksin penting bagi anak-anak masing-masing mencapai 19 persen dan 10 persen. Kini, pemerintah Perancis baru menambah delapan vaksin wajib untuk anak-anak mereka.
Italia, negara tetangga Perancis yang 76 persen penduduknya setuju vaksin aman, baru saja mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan sekolah melarang masuk anak-anak yang tidak divaksin atau mendenda orangtua yang tidak memvaksin anak mereka. Aturan itu dikeluarkan setelah tingkat imunisasi di negara itu berkurang.
Sementara Inggris, negara dengan 75 persen penduduknya setuju vaksin aman, sejauh ini belum ada aturan yang mewajibkan vaksinasi. Namun, Sekretaris Negara untuk Bidang Kesehatan Inggris Matt Hancock menegaskan tidak akan mengesampingkan gagasan untuk mewajibkan vaksinasi jika diperlukan.
Kepercayaan
Jika dilihat berdasar kawasan, regional dengan tingkat persetujuan terendah bahwa vaksin aman adalah Eropa Timur. Di wilayah itu, hanya separuh atau 50 persen penduduk yang percaya vaksin aman. Kawasan berikutnya dengan tingkat persetujuan terendah kedua bahwa vaksin aman adalah Eropa Barat dengan nilai 59 persen.
Hal yang menarik, masyarakat yang ada di negara-negara berpenghasilan rendah justru memiliki tingkat persetujuan yang tinggi tentang keamanan vaksin. Kepercayaan tertinggi ada di negara-negara Asia Selatan dan Afrika Timur yang secara berurutan menunjukkan 95 persen dan 92 persen penduduknya setuju vaksin aman.
Di Banglades, 97 persen penduduk setuju jika vaksin aman dan 97 persen setuju vaksin efektif. Sementara di Rwanda, 94 persen setuju vaksin aman dan 99 persen setuju vaksin efektif. Di Banglades, 95 persen anak-anak sudah divaksin, sedangkan di Rwanda 100 persen anak-anaknya sudah divaksin.
Meski Banglades dan Rwanda sudah mencapai vaksinasi universal, namun cara negara-negara itu memaksa warganya untuk divaksinasi menjadi tantangan berbeda. Rwanda menjadi negara berpenghasilan rendah pertama di dunia yang menyediakan akses universal bagi perempuan muda untuk mendapatkan vaksinasi human papillomavirus (HPV) yang melindungi mereka dari kanker serviks.
“Situasi itu menunjukkan peningkatan cakupan vaksinasi itu dapat dicapai melalui usaha bersama,” tambah Khan.
Survei Wellcome Trust juga menunjukkan, orang-orang yang lebih percaya pada ilmuwan, dokter, atau perawat lebih cenderung setuju bahwa vaksin itu aman. Sebaliknya, orang yang mencari atau memperoleh informasi tentang sains, kedokteran atau kesehatan secara langsung justru kurang setuju bahwa vaksin aman.
Meski studi itu tidak menjelaskan mengapa kepercayaan orang-orang yang mengakses informasi langsung terhadap vaksin justru lebih rendah, namun peneliti menilai banyak faktor yang memungkinkan kondisi itu terjadi.
Sebagian orang mungkin cepat berpuas diri. Jika suatu penyakit menjadi kurang umum atau jarang terjadi kembali, maka mereka menilai vaksinasi tidak lagi menjadi kebutuhan. Dengan menimbang manfaat dan risiko yang selalu menyertai setiap vaksinasi, mereka kemudian menilai vaksinasi sebagai hal yang kurang mendesak dilakukan.
Semua obat, juga vaksin, memiliki efek samping. Meski demikian, vaksin telah menjalani uji menyeluruh dan luas untuk memastikan salah satu produk biologi itu aman dan efektif digunakan.
Namun berkembangnya internet membuat fakta tidak benar tentang vaksin menjadi lebih mudah disebar dan menyebar. Situasi itu membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin berkembang sangat cepat dan memunculkan kerepotan bagi otoritas kesehatan untuk menangkalnya.
Di Jepang, muncul kekhawatiran terhadap vaksin HPV setelah sejumlah masalah neurologis akibat penggunaannya disebarkan secara luas. Sementara di Perancis, muncul kontroversi terkait vaksin influenza dengan tuduhan pemerintah membeli vaksin dalam jumlah terlalu besar hingga vaksin tidak aman karena dibuat secara tergesa-gesa.
Inggris menghadapi penyebaran informasi yang tidak tepat terkait vaksin MMR (Mumps/gondongan, Measles/campak, dan Rubella) yang dituding memicu autisme. Sementara di Indonesia, isu yang sering muncul adalah terkait kehalalan vaksin meski tokoh-tokoh agama sudah meyakinkan bahwa vaksin itu masih bisa digunakan karena pertimbangan kedaruratannya.
“Salah satu upaya penting untuk menangkal keraguan dan kekhawatiran tentang vaksin adalah menjadikan petugas kesehatan mampu, terlatih serta siap sedia untuk merekomendasikan vaksin berdasarkan kebenaran ilmiah. Kemampuan itu akan membantu menjawab pertanyaan dan keraguan orangtua maupun komunitas masyarakat terhadap vaksin,” kata Lindstrand.