Panti Dymphna Maumere Berjuang Merawat Pasien Sakit Jiwa
›
Panti Dymphna Maumere Berjuang...
Iklan
Panti Dymphna Maumere Berjuang Merawat Pasien Sakit Jiwa
Panti asuhan Dymphna di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur menjadi tumpuan para pasien gangguan jiwa. Panti ini kini merawat 118 orang gangguan jiwa dari berbagai suku dan agama, di berbagai wilayah Indonesia. Ratusan pasien yang pernah dirawat telah pulih dan kembali ke keluarga.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Panti asuhan Dymphna di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, menjadi tumpuan para pasien gangguan jiwa. Panti ini kini merawat 118 orang gangguan jiwa dari berbagai suku dan agama di berbagai wilayah Indonesia. Ratusan pasien yang pernah dirawat telah pulih dan kembali ke keluarga.
Penanggung jawab dan pemimpin Panti Asuhan Dymphna, Sr Lucia, dihubungi di Maumere, Rabu (19/6/2019), mengatakan, panti ini didirikan tahun 2005 setelah melihat banyak orang dengan gangguan jiwa (ODG), sakit jiwa, atau juga sering disebut orang gila berkeliaran di jalan-jalan di Maumere, Ende, Larantuka, Ruteng, dan kota-kota lain di NTT.
”Awalnya, kami menggunakan satu ruangan darurat berukuran 2 x 3 meter dari bambu untuk menampung lima pasien. Tetapi, lama-kelamaan, jumlah pasien terus bertambah. Tahun 2008 kami bangun rumah permanen ini, berukuran
12 x 15 meter, dengan dukungan dana dari biara dan donor, termasuk Pemda Sikka,” kata Lucia.
Jumlah pasien terbanyak tahun 2015, yakni 312 orang. Namun, setiap tahun pasien mulai menurun seiring proses pemulihan dan kesembuhan pasien secara perlahan, satu per satu. Setelah dinyatakan sehat, mereka pulang ke rumah.
Biarawati Lucia mengatakan, setiap bulan panti Dymphna membutuhkan biaya operasional sekitar Rp 400 juta untuk berbagai kebutuhan pasien selama di panti itu. Belanja beras, lauk pauk, sayur dan bumbu dapur, biaya pengobatan pasien, seragam pasien, alat-alat olahraga, pakaian olahraga, sabun (mandi dan cuci), sampo, menggaji perawat, dan membeli air bersih.
Kebutuhan akan air bersih menyedot anggaran sampai Rp 100 juta per bulan, yakni belanja air tangki dengan harga Rp 150.000 per tangki, berisi sekitar 5.000 liter.
Semua bukti pemasukan dan pengeluaran Dymphna disampaikan kepada pimpinan pusat biara, donor, dan pemda. Dengan transparansi seperti ini, semua pihak tetap menaruh simpatik terhadap panti asuhan ini.
Kini, jumlah pasien 118 orang, terdiri dari 7 laki-laki dan 111 perempuan. Guna menghidupi 118 pasien ini, pihak yayasan berjuang dengan berbagai cara.
Pasien yang sudah pulih tetapi tidak ingin kembali ke rumah membantu berjualan makanan dan minuman ringan sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga warung (toko) di sekitar panti untuk memenuhi kebutuhan panti.
Mereka berjualan kopi khas Bajawa (Flores), dan buku-buku rohani hasil karya Sr Lucia dan beberapa biarawan katolik melalui media daring. Memelihara ternak babi untuk dijual anakannya, membuka kios dan warung kopi di depan panti. Membangun komunikasi dengan para penderma atau donor di beberapa tempat agar menyisihkan sedikit bantuan bagi panti.
Terkadang Dymphna tidak memiliki anggaran sama sekali untuk membiayai pasien. Pihak yayasan terpaksa berjalan ke warung dan toko yang menjual bahan pokok, meminta bantuan beras dan sejenisnya untuk kebutuhan harian pasien. Ini harus dilakukan mana kala kondisi keuangan panti sudah tidak ada lagi.
Panggilan Jiwa
Tak hanya masalah keuangan, merawat pasien sakit juga butuh panggilan jiwa. Lucia mengatakan, ODG yang masih dalam kondisi sakit kadang membuang air besar dan kecil secara sembarangan di atas lantai. Ini pekerjaan paling rumit, sulit, dan menjijikkan bagi kebanyakan orang.
”Bayangkan, mereka membuang kotoran di dalam ruangan. Orang sehat enggan masuk, apalagi membersihkan lantai. Belum lagi menghadapi pasien yang tengah memberontak, marah, emosi, dan terkadang cenderung menyerang,” kata Lucia.
Hanya kesabaran dan kerendahan hati yang membuat orang berani masuk di dalam ruangan itu untuk melakukan pembersihan, pengobatan, dan mengobrol bersama pasien. Meski sering ditolak, dicaci maki, diteriaki pasien, dan diancam, para pekerja panti asuhan ini tetap sabar dan setia mendampingi.
Lucia mempekerjakan 8 karyawan, masing-masing dibayar Rp 500.000 per bulan, termasuk dua perawat. Mereka bekerja selama 24 jam, mulai pukul 03.00 WITA hingga pukul 03.00 WITA bagi 118 pasien. Mereka membersihkan (mengepel) lantai, menurunkan pasien satu per satu dari tempat tidur, dan mengantar ke kamar WC.
Mereka juga mengarahkan pasien ke luar untuk senam, minum air putih hangat, sarapan pagi, serta beraktivitas lain, seperti bernyanyi, menyulam dan menenun, memasak, menyuapi pasien, mencuci alat makan, mengarahkan pasien tidur siang, membersihkan lantai, mengarahkan pasien untuk kegiatan sore hari.
”Merawat ODG seperti ini tidak mudah. Hanya orang yang memiliki panggilan khusus bisa bertahan. Memberi upah Rp 500.000 per bulan itu tidak wajar, tetapi mereka juga memahami kondisi keuangan panti,” katanya.
Merawat ODG seperti ini tidak mudah. Hanya orang yang memiliki panggilan khusus bisa bertahan. Memberi upah Rp 500.000 per bulan itu tidak wajar, tetapi mereka juga memahami kondisi keuangan panti.
Mayoritas pasien di Panti Dymphna adalah perempuan, berusia 15-67 tahun. Kebanyakan di antara mereka menderita penyakit itu karena keturunan, tekanan ekonomi, ketidakharmonisan hidup rumah tangga, dan kegagalan dalam usaha. Ini menyebabkan stres dan trauma berlebihan dan berkepanjangan sampai menimbulkan gangguan jiwa tersebut.
Sekitar 300 pasien telah pulih. Mereka kembali ke keluarga dan bekerja seperti biasa. Namun, ada beberapa di antara mereka memilih tinggal di panti, membantu pasien lain, secara sukarela.
Siska (32) warga Surabaya, Jawa Timur, salah satu penghuni Panti Dymphna yang sudah pulih mengatakan sangat berterima kasih kepada Panti Dymphna, terutama penanggung jawab dan pengasuh. Siska diantar keluarga dalam keadaan tak sadarkan diri, dan tidak terurus, kini menjadi sehat, segar, dan ingin bekerja. Kini, Siska masih ada di Panti Dymphna untuk satu pekan ke depan.
”Saya ingin diterima dan dihargai seperti para pengasuh di Yayasan Dymphna ini. Saya berharap tidak hanya saya yang dirawat, tetapi orang-orang terdekat saya, seperti suami dan anggota keluarga, diberi pemahaman untuk menerima saya,” kata Siska.
Siska mengatakan tuntutan keluarga agar dia harus segera punya anak membuat dia tertekan. ”Perempuan mana yang tidak ingin punya anak, saya sudah berusaha dan berjuang tetapi belum diberikan,” kata Siska.
Dengan bantuan para pengasuh panti asuhan Dymphna di Maumere, kini ia mulai bisa menjalani hidup normal meski masih terus mengonsumsi obat.