Perserikatan Bangsa-Bangsa dinilai gagal secara sistemik dalam menangani situasi di Myanmar akibat tiadanya strategi menyeluruh dan minimnya dukungan Dewan Keamanan PBB.
NEW YORK, SENIN— Kegagalan sistemik PBB dalam penanganan situasi di Myanmar disebut dalam laporan penyelidikan internal PBB yang dirilis lembaga itu, Senin (17/6/2019). Ketiadaan strategi menyeluruh dan minimnya dukungan Dewan Keamanan PBB mengakibatkan PBB gagal menjaga keseimbangan antara mendukung pembangunan serta bantuan kemanusiaan bagi Pemerintah Myanmar dan dalam menangani isu pelanggaran hak asasi manusia.
Dugaan pelanggaran HAM menimpa para pengungsi etnis Rohingya dan dilakukan oleh militer Myanmar. Akibatnya, lebih dari 720.000 warga etnis Rohingya harus meninggalkan wilayah tinggal mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke wilayah Bangladesh pada Agustus 2017. Peristiwa itu memunculkan aneka tuduhan bahwa pasukan khusus Myanmar telah melakukan tindakan keji berupa pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan bangunan tempat tinggal.
Tinjauan setebal 36 halaman oleh Gert Rosenthal, mantan Menteri Luar Negeri Guatemala, mengatakan, PBB seharusnya dapat menyamakan pandangan tentang metode yang sepatutnya digunakan dalam menangani krisis kemanusiaan seperti di Rakhine, yakni diplomasi diam-diam atau advokasi terang-terangan.
Nyatanya, merujuk laporan itu, metode tersebut tak digunakan sama sekali. Akibatnya—seperti di Sri Lanka pada akhir perang saudara melawan separatis Tamil tahun 2009—sistem PBB tak berfungsi. Dengan kata lain, kesalahan PBB itu pernah dilakukan dan kembali terjadi menimpa warga Rohingya.
”Jelas-jelas bahwa kesalahan serius telah dilakukan dan aneka kesempatan hilang dalam sistem PBB terkait strategi yang terfragmentasi dibandingkan rencana aksi bersama,” kata Rosenthal. Ia menambahkan, kegagalan sistemik kian diperbesar oleh beberapa pertikaian birokratis yang tak pantas.
Pelajaran diambil
Rosenthal mengatakan, pelajaran utama yang dapat diambil dari kesalahan itu adalah di masa depan perlu upaya menumbuhkan suasana dan lingkungan yang mendorong entitas yang berbeda dari sistem PBB guna bekerja bersama. Dalam catatan dengan nada lebih optimistis, lanjut Rosenthal, sejak Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menjabat pada awal 2017, tampak adanya pengakuan baru tentang pentingnya peningkatan koordinasi.
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, Guterres—yang menugaskan penyusunan laporan itu—telah menerima semua rekomendasinya dan berkomitmen mengimplementasikannya. ”Sekjen sangat berterima kasih kepada Pak Rosenthal karena menghasilkan laporan yang jujur, terus terang, dan sangat berguna,” katanya.
Tinjauan internal tersebut mencakup keterlibatan PBB di Myanmar sejak 2010 hingga 2018. Kurun waktu itu ditandai ketika negara yang dipimpin militer itu mulai membuka diri ke dunia luar dan akhirnya mengarah ke pemilu dan bergerak menuju ekonomi yang lebih terbuka dan berorientasi pasar. Diingatkan, atas semua kecenderungan positif itu dengan seluruh dinamikanya, Myanmar juga terlibat dalam perlakuan diskriminatif yang berkepanjangan pada kaum minoritas dalam beberapa dekade, terutama atas etnis Rohingya.
Pemerintah Myanmar telah lama menganggap Rohingya sebagai ”orang Bengali” dari Bangladesh meskipun keluarga mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi. Hampir semua warga Rohingya telah ditolak status kewarganegaraannya sejak 1982, menjadikan mereka tidak berkewarganegaraan. Kebebasan mereka pun dibatasi, termasuk atas hak-hak dasar.
Isu Rohingya terus menjadi perhatian banyak kalangan. Isu tersebut direncanakan juga bakal menjadi agenda dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bangkok, Thailand, 20-23 Juni ini. (AP/AFP/BEN)