Pengacara Sjamsul Nursalim Protes, KPK: Penyidikan Jalan Terus
›
Pengacara Sjamsul Nursalim...
Iklan
Pengacara Sjamsul Nursalim Protes, KPK: Penyidikan Jalan Terus
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI masih terus menuai polemik. Kuasa hukum menyatakan, kasus ini sudah selesai sejak 20 tahun lalu melalui penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam bentuk Master Settlement Acquisition Agreement atau MSAA. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan masih ada kewajiban utang dan pembayaran yang harus diselesaikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua tersangka dalam kasus BLBI, yaitu pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim. Kerugian negara atas kasus korupsi ini mencapai Rp 4,58 triliun.
”Penandatanganan MSAA telah dipenuhi pada 25 Mei 1999 sebagaimana dinyatakan pemerintah sendiri dalam surat release and discharge atau pembebasan dan pelepasan serta akta notaris letter of statement. Namun, sekarang kembali dipermasalahkan,” ujar kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, di Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Lebih lanjut, Otto menyampaikan bahwa inti kesepakatan dalam MSAA adalah Sjamsul mengikatkan diri hanya untuk menanggung kewajiban BDNI yang telah disepakati bersama Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 28,408 triliun. Jumlah ini merupakan hasil pengurangan dari aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun yang telah dibayarkan dari total kewajiban BDNI sebesar Rp 47,258 triliun.
Selanjutnya, kesepakatan Rp 28,408 triliun disepakati untuk diselesaikan dengan cara pembayaran tunai sebesar Rp 1 triliun. Adapun penyerahan aset berupa saham-saham perusahaan senilai Rp 27,495 triliun.
”Apabila Sjamsul telah memenuhi kewajiban itu, pemerintah berjanji dan menjamin memberikan imunitas untuk tidak menuntut Sjamsul dalam bentuk apa pun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana,” ujar Otto saat menjelaskan inti kesepakatan MSAA.
Otto menegaskan, pada 25 Mei 1999 Sjamsul telah memenuhi kewajibannya untuk membayar Rp 28,408 triliun. Pemenuhan kewajiban dibuktikan dengan surat release and discharge yang dipertegas melalui akta notaris letter of statement.
Sementara itu, KPK dalam pertimbangannya sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan ditemukan kerugian negara Rp 4,58 triliun. KPK menilai, aset yang digunakan Sjamsul untuk memenuhi kewajiban pembayarannya tergolong aset yang macet.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, sempat menyampaikan, pembayaran kewajiban menggunakan aset senilai Rp 18,85 triliun, termasuk pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Aset ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.
Namun, setelah dilakukan financial due dilligence (FDD) dan legal due dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi atau memberikan pernyataan yang tidak benar.
Selanjutnya, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Pada 24 Mei 2007 PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Dengan demikian, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah Rp 4,58 triliun.
Pemulihan aset
Febri menyampaikan, saat ini proses penyidikan baru dimulai dan masih berjalan. ”Ini sesuai dengan standar penanganan perkara di KPK jadi ketika proses penyidikan kami perlu panggil saksi dan tersangka. Nanti setelah datang kami periksa. Kalau tidak datang, akan kami panggil lagi,” ujarnya.
Sementara itu, KPK juga tengah fokus pada pemulihan aset negara senilai Rp 4,58 triliun. Untuk itu, KPK melakukan penelusuran aset yang diduga dimiliki tersangka atau yang terkait dengan tersangka agar dapat dikembalikan kepada negara.
Di sisi lain, anggota 1 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna, menyampaikan bahwa kini pemulihan aset korupsi di luar negeri mulai dapat dilakukan. Menurut dia, ini merupakan sesuatu yang bersejarah.
”Kalau Anda melakukan tindak pidana korupsi, kami akan kejar di mana pun. Jadi tidak ada lagi tempat bagi para pelaku tindak pidana korupsi menyembunyikan asetnya,” kata Agung.
Sebagai contoh kasus, Agung menjelaskan bahwa pada Agustus 2019, BPK akan melakukan pemulihan aset dari Robert Tantular yang merupakan salah satu dari enam nama yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) ke Bank Century.
”Angkanya sekitar Rp 100 miliar. Upaya itu sudah kami tempuh sejak tiga minggu lalu dan sudah mendapatkan titik terang. Mudah-mudahan bulan Agustus nanti kami akan pergi ke London untuk mengambil dan menjadikan uang itu milik Republik Indonesia,” kata Agung.