Peraturan daerah di kabupaten/kota Nusa Tenggara Barat perihal pungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi perlu direvisi karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi penyelenggara telekomunikasi dan menghambat masuknya investasi bagi daerah.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Peraturan daerah di kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat perihal pungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi, atau RPMT, perlu direvisi karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi penyelenggara telekomunikasi dan menghambat masuknya investasi bagi daerah.
Oleh sebab itu, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) melalui suratnya kepada Gubernur NTB, yang ditandatangani Direktur Eksekutif ATSI Sutrisman, minta melakukan audiensi dengan dengan beberapa kabupaten di NTB untuk penyelesaian RPMT itu.
”Kami sudah menerima tembusan surat ATSI dan masih menunggu perintah Gubernur NTB Zulkieflimansyah untuk tindak lanjutnya,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) NTB Gede Aryadi di Mataram, Rabu (19/6/2019).
Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi NTB Ruslan Abdul Gani mengatakan telah menerima surat permintaan ATSI, sekaligus memberikan perhatian untuk menyelesaikan keluhan penyelenggara telekomunikasi.
”Kami akan melakukan pertemuan dengan penyelenggara telepon antara minggu awal dan pertengahan Juli untuk mengetahui keluhan dan keberatan mereka,” ujarnya.
ATSI dalam suratnya menyebutkan, RPMT berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2016 tidak lagi mengacu pada nilai maksimum 2 persen dari nilai jual obyek pajak, tetapi mengacu pada surat Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan tahun 2016, dengan besaran nilai RPMT Rp 2 juta-Rp 3 juta per menara tiap tahun.
Kami akan melakukan pertemuan dengan penyelenggara telepon antara minggu awal dan pertengahan Juli untuk mengetahui keluhan dan keberatan mereka.
Dasar tagihan
Sebagian besar pemerintah kabupaten/kota mengacu pada putusan MK dan surat Dirjen Perimbangan Keuangan, sedangkan empat pemerintah kabupaten/kota di NTB masing-masing membuat perda sebagai dasar tagihan RPMT itu.
Pemkab Lombok Barat memasang tarif Rp 4 juta-Rp 10 juta, Pemkab Lombok Timur Rp 6 juta, Pemkab Lombok Utara Rp 3 juta-Rp 6 juta, dan Pemkab Sumbawa Barat Rp 9 juta-Rp 19 juta. Perda-perda RPMT di keempat kabupaten itu diterbitkan tahun 2016, 2017, dan 2018.
ATSI sudah melayangkan surat keberatan kepada Bupati cq Dinas Kominfo karena formula perhitungan RPMT dalam perda dinilai keliru meski keberatan ditolak sehingga ATSI yang beranggotakan Hutchison Tri Indonesia, Indosat, Sampoerna Telekom, Smartfren, Telkom, Telkomsel, dan XL Axiata menolak membayar tagihan. ”Kami belum bersedia melakukan pembayaran RPMT,” kata Sutrisman dalam suratnya.
Menurut Ruslan Abdul Gani, sebenarnya perda-perda yang sebelumnya berbentuk raperda sudah dilakukan fasilitasi dan evaluasi secara berjenjang dan prosedural dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan). Setelah itu, pemkab menindaklanjuti hasil fasilitasi dan evaluasi, lalu raperda itu mendapat nomor registrasi dari pusat, kemudian disahkan menjadi perda.
Kami belum bersedia melakukan pembayaran RPMT.
”Perda-perda pungutan RPMT di kabupaten itu sudah ada yang mengalami perubahan, menyesuaikan dengan peraturan dan perundangan yang di atasnya, sedangkan yang belum kami dorong agar melakukan revisi,” ujar Ruslan Abdul Gani.
Untuk menyelesaikan keluhan-keluhan itu, pihaknya segara mengadakan pertemuan dengan pemerintah kabupaten/kota dan para penyelenggara telekomunikasi. Untuk sementara, perda lama tetap berlaku sebelum ada perda baru.