Penyusunan rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional periode 2019-2024 diwajibkan berpatok pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Dengan demikian, target perencanaan undang-undang dalam kurun waktu lima tahun ke depan diharapkan sinkron dengan kebutuhan dan urgensi peta jalan pembangunan nasional.
Oleh
Agnes Theodora dan Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional periode 2019-2024 diwajibkan berpatok pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN. Dengan demikian, target perencanaan undang-undang dalam kurun waktu lima tahun ke depan diharapkan sinkron dengan kebutuhan dan urgensi peta jalan pembangunan nasional.
Dewan Perwakilan Rakyat, melalui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP), berencana memasukkan pasal tentang kewajiban menjadikan RPJMN sebagai patokan penyusunan perundang-undangan. Revisi UU tersebut akan menjadi salah satu prioritas yang dibahas DPR dan Pemerintah dalam sisa waktu tiga bulan masa jabat.
Dewan Perwakilan Rakyat, melalui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berencana memasukkan pasal tentang kewajiban menjadikan RPJMN sebagai patokan penyusunan perundang-undangan.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR (Baleg) dari Fraksi PDI-Perjuangan Arif Wibowo di Jakarta, Selasa (18/6/2019), mengatakan, selama ini, penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk satu periode masa jabatan tidak selalu berpatok pada peta jalan pembangunan nasional. Itu karena undang-undang hanya menjadikan RPJMN sebagai salah satu pertimbangan dalam merencanakan target legislasi, tetapi tidak mengikat sebagai kewajiban.
”Ke depan, ini harus dijadikan kewajiban. Selama ini, penyusunan prolegnas asal saja, semua usulan RUU ditampung dari berbagai kementerian/lembaga, fraksi, dan komisi di DPR, tetapi hasilnya tidak terarah dan tidak sesuai rencana pembangunan lima tahunan,” kata Arif.
Ia mencontohkan, revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada periode 2014-2019 ini. Pembahasan RUU itu tidak disusul dengan revisi Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Akhirnya, beberapa pasal di UU Pemda tidak bisa maksimal diterapkan pada praktiknya karena terganjal undang-undang sektoral terkait yang tidak ikut direvisi.
Lebih lanjut, Arif mengatakan, pemberlakuan sistem luncuran (carry over) yang akan diatur dalam revisi UU PPP juga akan berpatok pada peta jalan pembangunan di RPJMN. Jika disetujui, aturan sistem luncuran itu akan menjadi hal baru. Dengan sistem luncuran itu, pembahasan RUU yang mangkrak dapat langsung dilanjutkan di periode selanjutnya tanpa memulai dari titik awal lagi.
”Politik hukum harus sejalan dengan politik pembangunan, karena itu menyangkut efektivitas keberlanjutan pembangunan,” katanya.
Oleh karena itu, pemberlakuan sistem luncuran pada praktiknya nanti akan fleksibel. Tidak semua RUU yang mangkrak otomatis langsung dilanjutkan di periode berikutnya. Draf revisi UU PPP akan mengatur syarat dan kriteria memilah RUU yang dilanjutkan, seperti mempertimbangkan nilai urgensi, kebutuhan hukum di masyarakat, serta tetap sesuai dengan peta jalan pembangunan nasional.
Kejar target
Tiga bulan menjelang akhir masa jabatan pada September ini, DPR dan pemerintah akan segera mengejar target pembahasan sisa RUU yang masih menumpuk di prolegnas tahun ini.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, sebelum masa reses yang mulai pada 25 Juli mendatang, diharapkan sudah ada beberapa RUU yang dapat dikebut untuk disahkan. Selain RUU PPP, ada pula RUU revisi KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Jabatan Hakim, dan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Bambang optimistis target penyelesaian 50 persen dari prioritas Prolegnas 2019 dapat tuntas sebelum periode jabatannya berakhir. Seperti yang diketahui, ada 55 RUU yang masuk dalam prioritas Prolegnas 2019. Dari daftar tersebut, DPR baru mengesahkan 3 RUU. Dengan demikian, untuk mencapai target 50 persen, DPR harus bisa menyelesaikan 25 RUU dalam sisa tiga bulan sebelum periode jabat mereka berakhir pada akhir September 2019.
Dengan jangka waktu yang terbatas tersebut Bambang mengatakan, pengesahan RUU PPP menjadi penting. Pembahasan RUU tersebut akan dipercepat agar dapat selesai sebelum masa jabat periode ini berakhir.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, RUU PPP adalah salah satu yang pembahasannya akan dipercepat. RUU itu dinilai penting, khususnya terkait poin tentang sistem luncuran (carryover).
”Agar perkembangan pembahasan RUU yang ada sekarang tidak mubazir. Pasal carry over itu bisa menghemat waktu kita,” katanya.
Apabila RUU PPP dapat rampung sebelum periode 2014-2019 selesai, dan peraturan mengenai sistem luncuran itu disepakati, DPR periode selanjutnya dapat langsung melanjutkan pembahasan berbagai RUU yang sekarang gagal dituntaskan.
”Pembahasannya dipercepat sehingga kalau tidak selesai tahun ini, bisa dilanjutkan tahun depan tanpa dari nol lagi. Daripada buang-buang biaya negara saja,” kata Bambang.