Tim gabungan mengambil sebanyak 56 sampel dari 65 kontainer sampah plastik di Batam, Kepulauan Riau, yang diduga terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Lolosnya kontainer diduga memanfaatkan aturan impor limbah yang tidak spesifik.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Tim gabungan mengambil 56 sampel dari 65 kontainer sampah plastik di Batam, Kepulauan Riau, yang diduga terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Lolosnya kontainer diduga memanfaatkan aturan impor limbah yang tidak spesifik.
Kepala Seksi Penindakan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam Fabian Cahyo Wibowo, Rabu (19/6/2019), memastikan pengambilan sampel 65 kontainer akan rampung pekan ini. ”Hasil uji laboratorium bisa diketahui paling lambat tiga hari setelah pengambilan sampel selesai,” katanya.
Sejumlah 65 kontainer yang diduga terkontaminasi limbah B3 itu diimpor dari Amerika Serikat, Australia, Jerman, dan Perancis oleh PT Royal Citra Bersama, PT Wiraraja Plastikindo, PT Tan Indo Sukses, dan PT Hong Tay. Oleh perusahaan itu, sampah plastik tersebut diolah menjadi biji plastik dan material setengah jadi lainnya untuk kemudian diekspor ke China dan India.
Sejumlah kontainer sampah plastik yang berasal dari Amerika Serikat dan Australia saat diperiksa ternyata isinya tidak homogen. ”Bisa dilihat sendiri beberapa kontainer isinya bukan hanya plastik, melainkan juga tercampur dengan kertas dan beberapa jenis bahan lainnya,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam Herman Rozie di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.
Saat dibuka, sejumlah kontainer itu mengeluarkan cairan dengan bau yang tajam. Sampah plastik botol obat, mainan anak-anak, bungkus tisu basah, sepatu bekas, botol oli, bungkus makanan, wadah minuman, serta berbagai macam jenis sampah lainnya diikat menjadi satu dan dijejalkan dalam kontainer tersebut.
Aktivitas impor scrap plastic yang tidak homogen melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun, serta Konvensi Basel. Oleh karena itu, kontainer tersebut harus dipulangkan ke negara asal paling lambat 90 hari terhitung sejak barang itu tiba di Indonesia.
Saat ini, terdapat sekitar 30 perusahaan pengolah plastik di Batam. Menurut Herman, impor sampah plastik sebagai bahan baku industri plastik daur ulang mulai marak setelah perang dagang antara AS dan China. Tahun 2018, Pemkot Batam menolak permohonan 30 izin baru pendirian industri plastik daur ulang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekspor dan Impor Plastik Industri Indonesia (Aexipindo) Marthen Tandi Rura menjamin pengusaha akan bersikap kooperatif terhadap langkah yang diambil pemerintah. Pemulangan kontainer ke negara asal juga akan dilakukan jika hasil laboratorium menyatakan isi kontainer tersebut terbukti terkontaminasi limbah B3.
Hal tersebut janggal mengingat 65 kontainer tersebut memiliki dokumen dan izin impor yang lengkap. Selain itu, dua surveyor yang ditunjuk, yaitu PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia, sebelumnya juga telah memastikan aktivitas impor tersebut sesuai Permendag Nomor 31 Tahun 2016.
Dari data Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, diketahui kontainer tersebut mencantumkan kode HS scrap plastic dan scrap karet. Dua orang perwakilan PT Sucofindo yang memantau pemeriksaan kontainer di Pelabuhan Batu Ampar menolak berkomentar mengenai hal tersebut. Mereka bergeming saat diberondong pertanyaan mengapa kode HS yang tercantum tidak sesuai dengan isi kontainer tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merekomendasikan Kementerian Perdagangan merevisi Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun. Poin revisi adalah mengubah kode HS yang berisi kata ”lain-lain” menjadi lebih spesifik. Kata ”lain-lain” ini diduga menjadi jalan masuk bagi jenis sampah itu (Kompas, 11/6/2019).