Suster Crescentiana Tutut W, PMY Menyelami Keheningan Tunarungu
Perjumpaan dengan para penyandang tunarungu sejak remaja membuat Suster Crescentiana Tutut Wahyuningrum, PMY penasaran. Dia menjadi dekat, bersahabat serta menaruh rasa hormat kepada para penderita tunarungu yang mampu berkarya. Crescenstiana melayani sekaligus menyelami keheningan hidup mereka di Yayasan Dena Upakara dan PT Protecda Kreasi Prima di Wonosobo, Jawa Tengah.
“Saat bersekolah di SMA Bhaktitama, saya tinggal di asrama. Kami sering diajak guru olahraga ke Dena Upakara untuk bertanding voli dengan teman-teman tunarungu. Saya mulai tertarik anak-anak seperti itu kok bisa PD (percaya diri), mereka bisa mengalahkan kami. Saya lalu menaruh hormat kepada mereka,” kata Crescentiana, saat ditemui di Susteran Putri Maria Yosep (PMY), Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (8/6/2019).
Yayasan Dena Upakara yang berdiri sejak 1938 di Wonosobo menaungi asrama dan sekolah luar biasa bagi anak-anak tunarungu dari jenjang kelompok bermain (KB) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Sudah lebih dari seribu anak tunarungu dibesarkan, dibina, dan dididik di tempat yang dikelola Susteran PMY.
Asrama dan sekolah menjadi wadah pendidikan dan pembekalan keterampilan memasak, menjahit, dan salon, sedangkan PT Protecda (Productivity Trainning & Education for The Deaf Alumny) Kreasi Prima yang berdiri pada 2016 menjadi tempat bekerja sekaligus belajar hidup mandiri bagi para penyandang tunarungu.
PT Protecda dengan unit bisnisnya, yaitu salon, kuliner kafe, mekanik, dan konveksi menjadi wadah bagi siswa-siswi lulusan sekolah luar biasa dari mana saja, khususnya penderita tunarungu. Gedung kawasan hening atau “mute.area” di Jalan T Soerjohadikoesumo No 21A Wonosobo jadi tempat para penyandang tunarungu itu bekerja di kafe dan salon. Salon “mute.area” bahkan telah memiliki 250 pelanggan.
Crescentiana mulai menapaki kehidupan membiara pada 1998. Dia mengucap kaul dan menjadi biarawati pada 2001. Untuk mendukung karyanya, Crescentiana menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Keguruan di Universitas Negeri Yogyakarta. Selama tinggal di Yogyakarta, dia juga mendampingi anak-anak tunanetra dan tunarungu di SLB Helen Keller Indonesia. Sekembalinya ke Wonsobo, dia terjun langsung ke Yayasan Dena Upakara.
Di sana, Crescentiana telah mendapat berbagai tugas. Dari mulai mengajar agama, guru kelas, sampai kepala asrama. Sejak 2012 hingga kini, dia menjadi Sekretaris Yayasan Dena Upakara serta menjadi Direktur Utama PT Protecda Kreasi Prima sejak 2016.
“Dena Upakara berasal dari bahasa Jawa kuno. Dena itu dina atau miskin. Upakara itu merawat. Miskin apa? Miskin bahasa, miskin komunikasi. Bukan miskin ekonomi, tapi lebih ke miskin bahasa dan komunikasi. Anak-anak tuli itu miskin bahasa, miskin komunikasi. Nah itulah yang harus kita upakara atau rawat,” papar putri kelima dari senam bersaudara ini.
Crescentiana menyampaikan, beberapa faktor penyebab anak tunarungu antara lain, sejak lahir sudah tunarungu yang disebabkan sang ibu sakit ketika hamil. Selain itu, si anak menderita panas tinggi ketika masih balita sehingga syaraf bagian pendengaran rusak.
Mengajari mandiri
Dengan penuh keyakinan, Crescentiana mengajari anak-anak tunarungu untuk lebih mandiri. Dia bahu membahu bersama para guru dan 16 pengasuh asrama membimbing anak-anak sejak berusia 4 tahun. Di asrama, mereka diajari menerima dan mensyukuri setiap karunia dalam diri mereka masing-masing.
“Saya menanamkan pada anak-anak harus bersyukur karena kamu tunarungu. Jadi, ini sesuatu yang bukan membuat kamu celaka. Bahkan, saya juga mengajak mereka melihat ini bukan kesalahan ibumu, bukan kesalahan bapakmu, bukan kesalahan Tuhan. Ini tidak perlu diratapi, tapi disyukuri. Bahwa, sekarang kamu harus berbuat apa dalam situasimu yang seperti ini,” katanya.
Kepada anak-anak yang sudah duduk di bangku kelas IV, Crescentiana minta mereka mengirim surat untuk bertanya kepada orangtua, penyebab dirinya kehilangan pendengaran. Orangtua pun harus lebih terbuka untuk menjelaskan kepada sang anak. Penerimaan atas kondisi itu berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
“Yang penting adalah bagaimana memupuk kepercayaan diri anak. Orangtua biasanya sangat menyimpan hal itu, kadang tidak cerita. Menurut saya, anak perlu tahu mengapa dia tuli dan orangtua harus bisa menjelaskan itu dengan baik agar anak tidak menyalahkan siapa-siapa,” tuturnya.
Sementara kepada orangtua, Crescentiana menekankan, anak-anak ini membutuhkan pendidikan. “Yang penting adalah bekali dulu anak ini dengan pendidikan. Karena ini yang akan membuat mereka lebih percaya diri. Dalam pendidikan itu kan diajari komunikasi yang membuka bahasa dan semuanya. Kalau tidak bisa berbahasa, tidak bisa berkomunikasi, maka dunia akan sempit sekali,” katanya.
Tentu bukan hal yang mudah bagi orangtua melepaskan anaknya tinggal di asrama, apalagi sejak usia balita. Namun, hal itu merupakan langkah awal untuk membekali dan membina mereka sedari dini. Anak-anak tunarungu usia dini ini dilatih untuk mengurangi kebiasaan ngompol sampai latihan makan.
“Anak-anak di sini harus makan nasi, sayur. Kadang mereka ngambek kalau diajak makan. Latihan makan ini penting, kalau latihan makan tidak berhasil, untuk latihan bicara juga akan sulit. Karena untuk bisa motoriknya bagus itu kan harus makan yang keras-keras,” ujarnya.
Menurut Crescentiana, kepercayaan diri mereka kian tumbuh dan berkembang tatkala mereka menemukan bakatnya sehingga bisa belajar mandiri. “Anak-anak harus merasa berharga, diriku itu berharga, saya bisa melakukan sesuatu, saya bisa menghasilkan sesuatu, dan itu menghasilkan uang. Mereka harus punya pandangan terhadap dirinya sendiri bahwa aku bisa melakukan sesuatu bagi orang lain atau paling tidak untuk dirinya sendiri,” katanya.
Crescentiana mengatakan, para penyandang tunarungu ini mampu belajar di sekolah umum, bahkan hingga perguruan tinggi, mampu bersaing di dunia kerja, hidup mandiri, serta bekerja layaknya orang normal. Alumni Dena Upakara ada yang menjadi dokter gigi, PNS dan guru di SLB. Bahkan, ada juga yang memiliki salon di kota besar seperti Semarang dan Yogyakarta.
"Anak-anak harus merasa berharga, diriku itu berharga, saya bisa melakukan sesuatu, saya bisa menghasilkan sesuatu, dan itu menghasilkan uang. Mereka harus punya pandangan terhadap dirinya sendiri bahwa aku bisa melakukan sesuatu bagi orang lain atau paling tidak untuk dirinya sendiri,” katanya.
Selama pelayanan, Crescentiana justru belajar bahwa setiap orang harus melangkah maju, tidak boleh stagnan, dan terus mengatasi keterbatasan dirinya. “Saya belajar bagaimana mereka mengatasi keterbatasan mereka. Mereka butuh ada yang memberi dorongan, dukungan, lalu saya belajar dunia sunyi mereka.
Dunia mereka sunyi tapi bisa berkarya dengan baik. Mereka bisa membuat sesuatu jadi ramai, dalam kesunyian justru malah menemukan banyak hal bisa dibuat bagi banyak orang,” tuturnya.
Crescentiana berusaha membuang jauh rasa kasihan untuk anak-anak tunarungu, tetapi menumbuhkan rasa belas kasih. “Kalau kasihan itu hanya memberi secara karitatif, tapi belas kasih itu menimbulkan tindakan. Ibaratnya tidak memberi ikan, tapi kail untuk mencari ikan,” ujarnya.
Suster Crescentiana Tutut Wahyuningrum,PMY
Lahir: Wonosobo, Jateng, 11 Juli 1978
Ayah: Noorbertus Puspowijoyo
Ibu: (Alm) Christina Mulatsih
Pendidikan:
- SDN 1 Reco, Wonosobo
- SMP N 2 Kertek, Wonosobo
- SMU Bhaktitama, Wonosobo
- Masuk Biara PMY pada 1998, mengucap kaul sebagai biarawati pada 2001
- S1 di Pordi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan di UNY 2002-2007
Pekerjaan:
- Guru agama, guru kelas, dan guru Bahasa Indonesia di SLB Dena Upakara (2006-2012)
- Sekretaris Yayasan Dena Upakara (2012-sekarang)
- Magistra Novis PMY, (2012-sekarang)
- Direktur Utama PT Protecda Kreasi Prima (sejak 2016-sekarang)