Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusulkan pagu indikatif APBN 2020 sebesar Rp 6,47 triliun atau 0,1 persen dari alokasi RAPBN 2020 yang sebesar Rp 4.983,5 triliun. Pagu indikatif KKP tersebut dinilai rendah sehingga sulit mendorong pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusulkan pagu indikatif APBN 2020 sebesar Rp 6,47 triliun atau 0,1 persen dari alokasi RAPBN 2020 yang sebesar Rp 4.983,5 triliun. Pagu indikatif KKP tersebut dinilai rendah sehingga sulit mendorong pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Padahal, Indonesia ingin mencapai target besar sebagai poros maritim dunia.
Hal itu terungkap dalam Rapat Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi dari Fraksi PAN mengemukakan, usulan anggaran KKP yang di bawah 1 persen dari RAPBN 2020 perlu diperjuangkan untuk ditingkatkan. Pagu indikatif KKP pada 2020 itu juga hanya naik 18,05 persen jika dibandingkan dengan pagu anggaran KKP 2019 yang sebesar Rp 5,4 triliun.
Sementara realisasi penyerapan anggaran KKP tahun 2019 pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 1,91 triliun atau 34,76 persen dari pagu total KKP, yakni Rp 5,4 triliun.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Ono Surono, mengemukakan, Presiden Joko Widodo berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun, pagu indikatif KKP pada 2020 hanya separuh dari pagu anggaran KKP 2015. Hal ini di bawah pagu indikatif KKP 2020 yang sebesar Rp 32,4 triliun.
Ono menambahkan, penghematan yang dilakukan KKP dalam empat tahun terakhir serta peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Rp 300 miliar pada 2014 menjadi Rp 600 miliar pada 2018 seharusnya diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran KKP. KKP memiliki sejumlah persoalan yang harus diselesaikan, seperti pemberantasan kemiskinan nelayan.
Anggaran yang meningkat diharapkan dapat menopang program pembangunan kelautan dan perikanan sekaligus pemberantasan perikanan ilegal yang masih marak di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas.
”Peningkatan pagu indikatif anggaran diharapkan menjadi wacana jika kelautan dan perikanan dinilai penting,” ujar Ono.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyadari kapasitas penyerapan anggaran belum bisa maksimal.
Pada 2014, KKP merencanakan pagu anggaran Rp 30 triliun sehingga pada 2015 mengusulkan pagu anggaran indikatif Rp 13,8 triliun. Pihaknya juga merencanakan bantuan 15.000 kapal pada 2014-2019.
Akan tetapi, tambah Susi, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap laporan keuangan KKP tahun 2016 dan 2017 dengan opini tidak menyatakan pendapat (disclaimer) membuatnya memperketat anggaran dan memperbaiki kapasitas penggunaan anggaran. Dalam empat tahun terakhir, KKP mengembalikan anggaran kepada negara Rp 9,4 triliun.
”Sayang sebenarnya, tapi ini adalah pekerjaan rumah KKP untuk meningkatkan kapasitas dalam hal penyerapan anggaran dan kualitasnya,” kata Susi dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto mengemukakan, keberhasilan pembangunan bergantung pada program yang dirancang dan didesain. ”Program pembangunan kelautan dan perikanan harus dirancang dengan baik sehingga anggaran yang dibuat untuk menjamin program tersebut dapat berhasil sesuai rencana,” katanya.
Untuk mencapai poros maritim dunia, program pembangunan kelautan dan perikanan harus mencerminkan kedaulatan sumber daya, produsen, pengolahan, dan konsumen. Indonesia dinilai sudah efektif memulihkan sumber daya ikan melalui pemberantasan penangkapan ikan ilegal. Di sisi lain, kedaulatan ekonomi, industri, pasar domestik, dan ekspor perikanan masih harus terus ditingkatkan dengan dukungan anggaran.