JAKARTA, KOMPAS - Hari ketiga sejak dibukanya pendaftaran calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, Senin (17/6/2019) lalu, tercatat ada 18 calon yang mendaftarkan diri sebagai capim KPK. Latar belakang profesi ke-18 capim KPK itu, selain pengacara, juga ada mantan jaksa, mantan anggota Polri, dosen, dan masyarakat umum.
Saat dihubungi pada Rabu (19/6/2019) dari Jakarta, Ketua Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih optimistis, jumlah pendaftar capim KPK hingga penutupan pendaftaran pada 4 Juli mendatang akan bertambah lebih banyak lagi dengan latar belakang profesi yang semakin beragam.
Sejauh ini, menurut Yenti, Pansel Capim KPK berupaya terus menjaring sejumlah elemen masyarakat yang berpotensi menjadi komisioner di KPK. Langkah Pansel KPK tak hanya melakukan sosialisasi proses perekrutan capim KPK ke sejumlah daerah, seperti yang kini dilakukan Pansel KPK, tetapi juga meminta perguruan tinggi di Indonesia mengirimkan dosen-dosen terbaiknya untuk mengikuti seleksi pimpinan KPK.
Sosialisasi perekrutan calon pimpinan KPK, menurut Yenti, antara lain dilakukan di Kota Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Pekanbaru, dan Pontianak. Target sosialisasi Pansel Capim KPK tak hanya masyarakat umum, para akademisi, aktivis, tetapi juga kalangan bisnis. Sosialisasi dilakukan untuk menjaring lebih banyak lagi calon untuk menjadi pimpinan KPK, terutama dari daerah. Sebab, semakin banyak calon yang mendaftar, semakin banyak pula ditemukan calon-calon potensial yang layak memimpin KPK.
”Kami juga sudah mengirimkan surat ke rektor-rektor seluruh Indonesia, meminta mereka mengirimkan dosen-dosen terbaik untuk mengikuti proses seleksi pimpinan KPK,” kata Yenti.
Tidak ada ”interest”
Dalam diskusi publik ”Sosialisasi Penjaringan Calon Pimpinan KPK” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, anggota Pansel Capim KPK, Hendardi, mengatakan, untuk mendapatkan figur terbaik dan berintegritas, kriteria seleksi capim KPK diperbaiki.
”Untuk mengukur integritas calon, kami lakukan perbaikan kriteria dari pansel sebelumnya. Untuk mengenali calon, ada psikotes dan profile assessment,” katanya.
Secara keseluruhan, tambah Hendardi, ada 15 tahap seleksi capim KPK, yang dimulai dari pendaftaran calon, seleksi administrasi, tanggapan masyarakat, uji kompetensi, psikotes, profile assessment, penelusuran rekam jejak, uji publik, kesehatan, hingga wawancara.
Selain itu, calon pimpinan KPK juga harus menjalani uji kompetensi berlapis, yaitu tes obyektif yang sekaligus kewajiban menulis makalah. ”Integritas itu pun harus dimulai dari pansel juga,” ujarnya.
Hendardi menegaskan, selama ini tak ada kendala integritas meskipun ada beberapa kritik yang ditujukan kepada internal pansel. ”Kami diterima Presiden Senin lalu. Tetapi, kami sudah bekerja sejak akhir Mei lalu. Artinya, saat kami bekerja, belum mendapat arahan apa pun dari Presiden. Presiden tak ada interest-interest tertentu terhadap pansel,” tutur Hendardi.
Meskipun seleksi berlapis, hasilnya belum tentu sempurna. ”Jangan juga dianggap pansel malaikat, yang dengan terpilihnya pimpinan baru KPK, (hasilnya) semua persoalan KPK bisa diselesaikan. Namun, ini bagian usaha kami lebih memperketat seleksi. Diharapkan terpilih pimpinan KPK yang baik, kuat, dan mampu mengelola sistem,” ujarnya.
Adapun terkait penjaringan calon hingga ke daerah, Wawan Sujatmiko dari Transparency International Indonesia mengatakan, upaya itu sesuatu yang baik untuk memberikan kesempatan masyarakat di daerah berpartisipasi memberantas korupsi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya M Ali Safa’at berharap, bukan tak mungkin capim KPK berasal dari daerah. ”Dari sisi latar belakang, orang di daerah lebih sederhana dan tak banyak tersangkut ’sesuatu’ yang menyandera. Mereka terlatih mendeteksi model-model korupsi sebagaimana berkaca pada pengalaman di daerahnya,” ujar Ali.