Sekitar 3,9 juta warga atau 11,19 persen dari total jumlah penduduk Jawa Tengah tergolong miskin. Penyumbang terbesar kemiskinan ada di sejumlah kabupaten di wilayah tengah. Penguatan basis data dan pembenahan infrastruktur menjadi modal utama untuk mengatasi kemiskinan itu.
Sejumlah daerah di wilayah tengah, seperti Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga, nyaris selalu masuk 10 daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah. Akses kesehatan terkait sanitasi dan akses pendidikan menjadi isu krusial terkait kemiskinan di daerah itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng mencatat, persentase penduduk miskin di Wonosobo mencapai 17,58 persen atau tertinggi di Jateng pada 2018. Purbalingga (15,62 persen) di urutan kelima dan Banjarnegara (15,46 persen) di urutan keenam. Sementara garis kemiskinan Banjarnegara Rp 278.210 per kapita per bulan, menempati urutan kedua terendah di Jateng. Wonosobo ada di urutan ke-10 dengan Rp 323.490 per kapita per bulan.
Dalam pengukuran BPS, ada garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM) yang terkait pemenuhan kebutuhan perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Dari sejumlah indikator tersebut, akses sanitasi yang terkait dengan kesehatan dan lama bersekolah menjadi isu krusial di Wonosobo dan Banjarnegara.
Minimnya akses sanitasi, misalnya, tecermin dari kondisi Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Di desa itu, hampir separuh warga desa tak memiliki jamban sehat pribadi. ”Biaya membuat jamban pribadi cukup besar, bisa sampai Rp 1 juta,” kata Yanto (31), salah seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir.
Penghasilannya sekitar Rp 60.000 per hari hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama istri dan dua anaknya. Kepala Bidang Pemerintahan Sosial Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wonosobo Haris Gunarto mengakui, sisi kesehatan terkait sanitasi masih rendah. Hingga kini, capaian bebas buang air besar sembarangan (ODF) baru sekitar 58 persen.
”Masih ada sekitar 103.000 rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi atau jamban sehat,” ujarnya. Pemerintah Kabupaten Wonosobo mencanangkan percepatan pencapaian bebas buang air besar sembarangan. Alokasi dana desa pun didorong untuk mengatasi problem rendahnya kesadaran akan sanitasi. Pada 2019, Rp 8,8 miliar dari dana desa dialokasikan untuk pencapaian bebas buang air besar sembarangan.
”Sebelumnya, setiap desa hanya menganggarkan Rp 10 juta-Rp 20 juta, tetapi setelah kami dorong, kini menjadi Rp 100 juta-Rp 200 juta (untuk pembuatan jamban),” katanya.
Persoalan serupa dijumpai di Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, yang letaknya sekitar 6 kilometer dari pusat kota Banjarnegara. Sekretaris Desa Gentansari Heru Wiharso menuturkan, sekitar separuh dari total rumah tangga di desanya belum memiliki jamban sehat. Meskipun sudah banyak rumah yang memiliki jamban di rumahnya, alur pembuangannya belum tepat karena ke kolam atau sungai.
Menurut Heru, selain pemanfaatan dana desa, pihaknya juga mengandalkan program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) untuk meningkatkan ODF. ”Rehabilitasi RTLH sudah sepaket dengan pembuatan jamban sehat. Jadi, yang mendapat RTLH harus mau dibuatkan jamban sehat,” ujarnya.
Terkait pendidikan, warga Gentansari yang mayoritas buruh tani rata-rata tingkat pendidikannya hanya sebatas lulusan SD. Biaya transportasi yang tidak terjangkau menjadi salah satu kendala karena untuk melanjutkan ke tingkat SMP harus mengakses sekolah di desa lain.
Data BPS Jateng memperlihatkan, rata-rata lama sekolah di Banjarnegara pada 2018 adalah 6,28 tahun atau kedua terendah setelah Kabupaten Brebes yang 6,19 tahun. Sementara itu, rata-rata lama sekolah di Wonosobo adalah 6,75 tahun atau kesembilan terendah di Jateng.
Infrastruktur
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro FX Sugiyanto menyatakan, kemiskinan merupakan muara dari banyak sebab. Di antaranya kecilnya angka harapan hidup, rendahnya rata-rata lama sekolah, tingginya ketimpangan, dan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita yang rendah.
Ada banyak faktor yang harus diperhatikan untuk mengatasi kemiskinan itu. Namun, menurut dia, faktor pertama yang harus dibenahi adalah persoalan infrastruktur. ”Infrastruktur tidak selalu (terkait) jalan, tetapi juga pendidikan dan kesehatan, misalnya. Strategi pertama adalah bangun, benahi, dan jaga kualitas infrastruktur,” ujarnya.
Ia berpendapat, pemerintah perlu fokus pada kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lumbung-lumbung kemiskinan, tanpa berarti mengesampingkan daerah lain. Kebijakan bisa berjalan jika ada alokasi anggaran. Untuk itu, koordinasi penganggaran dari pusat hingga daerah penting.
”Perencanaan detail, fokus, dan sinkron dari pusat hingga daerah jadi problematik pada rezim otonomi daerah. Seni mengelola pemerintahan menjadi penting. Dalam hal ini, fungsi gubernur sentral untuk menyinkronkan kebijakan hingga level kabupaten,” katanya.
Berdasarkan data BPS Jateng, persentase penduduk miskin Jateng menunjukkan tren positif. Dari 14,44 persen penduduk miskin pada 2013, turun menjadi 13,58 persen pada 2014. Sempat stagnan pada 2015, lalu turun menjadi 13,27 persen pada 2016, turun sedikit menjadi 13,01 persen pada 2017, hingga turun signifikan menjadi 11,32 persen pada 2018.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, pihaknya terus menggenjot upaya penanganan kemiskinan. Perbaikan data menjadi hal utama karena dengan pemutakhiran data itu bisa diketahui permasalahan secara rinci, termasuk masalah kesehatan dan pendidikan.
”Setelah data jelas, kami keroyok bersama karena ini harus multisektor. Ada Kartu Jateng Sejahtera, di samping Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan rehabilitasi RTLH. Kami juga lakukan pemberdayaan dari sisi ekonomi. Apa yang sudah bagus, kami coba replikasi lagi,” ujar Ganjar.
Sugiyanto juga menekankan pentingnya penguatan basis data. ”Harus ada komitmen politik untuk menggunakan satu sumber data. Kita perlu lihat apa kebutuhan dari setiap desa. Sebab, setiap desa, bisa jadi sumber kemiskinannya berbeda sehingga programnya tidak harus sama,” katanya.
Kemiskinan di Jateng tentu bukan hanya di wilayah tengah. Di Kabupaten Brebes, misalnya, yang dari segi jumlah, masih terbanyak dengan 309.200 jiwa. Namun, wilayah tengah Jateng, dengan segala keterbatasannya, perlu mendapat sentuhan kebijakan penanganan kemiskinan dan pemberdayaan warga.