Kampung-kampung di Jakarta terancam hilang, lalu berganti rupa menjadi permukiman dan perkantoran modern. Dengan hilangnya kampung-kampung itu, identitas asli Jakarta akan semakin luntur.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kampung-kampung di Jakarta terancam hilang, lalu berganti rupa menjadi permukiman dan perkantoran modern. Dengan hilangnya kampung-kampung itu, identitas asli Jakarta akan semakin luntur.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Reforma Agraria di Perkotaan” yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di kantor KPA, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Hadir sebagai pembicara dalam acara itu adalah pengamat agraria, Noer Fauzi Rachman; pegiat komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi; Sekretaris Jenderal Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia Damar Panca; Ketua Dewan Nasional KPA Iwan Noerdin; dan Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.
Fauzi mengatakan, kampung-kampung di Jakarta makin terancam eksistensinya. Kampung-kampung itu terkepung oleh berbagai pembangunan permukiman vertikal dan perkantoran.
Ia mencontohkan perkampungan yang berada di kawasan Karet Tengsin. Di sekelilingnya sudah dibangun gedung-gedung modern menggantikan daerah yang sebelumnya kampung.
”Posisi kampung yang berada di tengah kota itu terancam hilang oleh berbagai tekanan pembangunan,” ujar Fauzi.
Hilangnya suatu perkampungan, lanjut Fauzi, juga menghilangkan identitas suatu wilayah. Ia mencontohkan hilangnya memori warga akan banyaknya pohon bayur di daerah Kebayoran. Kini, Kebayoran lebih dikenal sebagai permukiman di Jakarta Selatan.
”Alih fungsi agraria yang digerakkan arus modal ini tumbuh dan memakan perkampungan serta menghilangkan identitas daerah,” ujar Fauzi.
Identitas yang hilang itu membuat Jakarta akan makin kehilangan semangat kebersamaan dan rasa memiliki warganya. Dampaknya, Ibu Kota akan dimaknai hanya sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan tanpa akar yang kuat.
Warga perkampungan
Sandyawan mengatakan, alih fungsi lahan perkampungan tak hanya sekadar mengancam identitas kota, tetapi juga mengancam warga perkampungan.
Ia mengambil contoh saat penggusuran warga di Bukit Duri pada 2016 lalu untuk perbaikan dinding Sungai Ciliwung. Warga yang terusir kemudian sakit-sakitan karena kehilangan rumah dan sulit beradaptasi di lingkungan baru.
”Dampak jangka panjang ini yang sering pemerintah abai,” ujar Sandyawan.
Iwan mengatakan, masalah agraria selalu menurunkan masalah kemanusiaan lainnya. Ia mengatakan, alih fungsi kampung itu selalu semakin memiskinkan warga asli kampung itu.
Mereka memang memperoleh sejumlah uang ganti tanahnya. Namun, kini mereka harus rela hidup di daerah pinggir Ibu Kota.
”Mereka harus mengeluarkan biaya untuk memulai ulang hidup mereka. Ini tak mudah,” ujar Iwan.
Reformasi agraria
Baik Fauzi, Sandyawan, maupun Iwan mengatakan, perlu dilakukan reformasi agraria kepemilikan lahan di Ibu Kota. Pemerintah provinsi harus memasukkan dan mempertimbangkan eksistensi kampung dalam pembangunan Ibu Kota.
”Reformasi agraria bukan soal melakukan distribusi ulang kepemilikan tanah secara adil, melainkan juga mendorong memanusiakan manusia yang hidup di area itu,” ujar Sandyawan.