Membangun Indonesia timur adalah sebuah keharusan. Sudah terlalu lama kawasan itu tertinggal dari kawasan lain di Indonesia.
Oleh
Sharon Patricia
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membangun Indonesia timur adalah sebuah keharusan. Sudah terlalu lama kawasan itu tertinggal dari kawasan lain di Indonesia.
”Kawasan Indonesia timur secara historis pernah menjadi pusat perhatian dunia sejak abad ke-17 sampai lebih kurang abad ke-18, tapi tidak demikian saat ini,” kata Direktur Eksekutif Populi Center Hikmat Budiman saat diskusi publik bertajuk ”Indonesia Timur Masa Depan Kita?” yang digelar Populi Center di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Selain Hikmat, hadir sebagai pembicara Kepala Penelitian Pengembangan Kompas (1994-2006) Daniel Dhakidae, Ketua Dewan Pembina Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku Mus J Huliselan, dan Pembina Yayasan Populi Indonesia Agustinus Prasetyantoko.
Diskusi diadakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Ke-7 Populi Center. Selain diskusi, diluncurkan pula buku berjudul Ke Timur Menuju Haluan.
Hikmat melanjutkan, sejak Belanda memilih Pulau Jawa sebagai pusat politik dan ekonomi Belanda pada era kolonial, Indonesia timur kemudian menjadi wilayah yang terus mengalami marjinalisasi. Tak hanya soal politik, tetapi juga ekonomi. Mirisnya, marjinalisasi ini dinilainya masih berlanjut hingga kini.
Menurut Ketua Dewan Pembina Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku Mus J Huliselan, selama ini Indonesia timur sering diabaikan, bahkan dilupakan dalam perencanaan pembangunan nasional.
”Masalah pokoknya, masih ada kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Kesenjangan ini menciptakan ketimpangan ekonomi antara wilayah barat dan timur,” tuturnya.
Mus menilai, buku Ke Timur Menuju Haluan dapat menjadi pegangan dalam melihat Indonesia timur. Khususnya, apakah model pendekatan pembangunan Indonesia sentris sudah tepat diterapkan sebagai satu konsep pembangunan.
Sementara Pembina Yayasan Populi Indonesia Agustinus Prasetyantoko menilai, buku memberikan gambaran yang komprehensif mengenai dinamika wilayah timur, baik secara historis, antropoligis, maupun sosiologis.
Prasetyantoko mengatakan, buku ini menegaskan sebuah argumen pokok. Argumen bahwa membangun Indonesia timur adalah suatu keharusan jika bukan keniscayaan.
Dengan begitu, pilihan kebijakan ”Indonesia sentris” dan bukan Jawa apalagi Jakarta sentris adalah sebuah keutamaan. ”Seberapa pun biaya ekonomi dan politik yang harus ditanggung,” tegas Prasetyantoko.
Daniel Dhakidae menambahkan, kajian mengenai Indonesia timur menjadi penting untuk masa depan. Sebab, kekayaan maritim yang dikandungnya, disebutnya, yang terbesar di republik ini. Bahkan, menurut dia, lebih besar dari gabungan semua wilayah lain.
”Buku ini juga memberi konteks besar yang tanpa itu mungkin sejarah Indonesia tidak bisa ditulis lagi. Mulai dari konteks kolonial, konteks eklesiastikal, dan konteks Islam,” ujar Daniel.