Penanganan pengungsi di negara-negara di kawasan Asia Tenggara belum mengedepankan hak asasi manusia. Ini bisa terjadi diantaranya karena tidak memiliki kerangka hukum yang kuat, lemahnya kemauan para pemimpin politik, dan sistem politik pemerintahan yang tak mendukung hal itu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan pengungsi di negara-negara di kawasan Asia Tenggara belum mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Padahal, hal itu penting karena isu pengungsi sedang dan diperkirakan akan terus terjadi di masa mendatang.
Dalam artikel Rights Today In Southeast Asia 2018, yang dikutip Kamis (20/6/2019), Amnesty International menemukan berbagai contoh kasus di mana negara-negara di kawasan Asia Tenggara belum menjamin keamanan pengungsi dan pencari suaka. Thailand, misalnya, menahan 168 pengungsi Montagnard yang datang dari Vietnam dan Kamboja pada Agustus 2018.
Selain itu, pada sejumlah kasus, pengungsi sering kali kesulitan mengakses bantuan kemanusiaan dari organisasi kemanusiaan karena dihambat otoritas kemiliteran. Ini seperti terjadi pada pengungsi Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, kurangnya penerapan prinsip HAM dalam menangani pengungsi juga terlihat dalam upaya repatriasi pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh untuk kembali ke Myanmar saat ini. Myanmar belum menjamin keamanan para pengungsi, sedangkan proses awal repatriasi pengungsi telah berjalan.
Itu mental block lama di tingkat regional, yaitu kuatnya cara berpikir untuk cenderung menghindari urusan HAM. Secara historis, ada residu berpikir bahwa HAM itu nilai barat dan negara-negara kawasan lebih condong pada nilai-nilai Asia.
Menurut Usman, hingga kini, mayoritas anggota ASEAN belum ada yang menawarkan perlindungan HAM yang ideal bagi pengungsi karena tidak ada kerangka hukum yang kuat. Di ASEAN, Filipina merupakan satu-satunya negara anggota yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Usman melanjutkan, kurangnya kesadaran untuk mengedepankan HAM karena lemahnya kemauan para pemimpin politik negara-negara ASEAN. Selain itu, sistem politik pemerintahan di kawasan yang beragam belum memungkinkan prinsip HAM diterima sepenuhnya.
Menurut dosen Antropologi Monash University, Antje Missbach, penting bagi ASEAN untuk segera merealisasikan ”Bangkok Principles on the Status and Treatment of Refugees” yang berisi prinsip-prinsip perlindungan pengungsi. Perlindungan pengungsi semakin mendesak mengingat ASEAN akan terus menghadapi isu pengungsi dan pencari suaka di masa depan.
”Sudah saatnya untuk mengatasi kekosongan perlindungan pengungsi di kawasan. Pengungsi harus dapat menikmati HAM mereka, dan merupakan tanggung jawab ASEAN untuk menjamin hak-hak tersebut,” katanya.
Peran Indonesia
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Jose Antonio Morato Tavares mengklaim, Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling mendorong penghormatan HAM di kawasan. Tantangan yang dihadapi, setiap negara memiliki konsep dan standar HAM yang berbeda sehingga proses konsensus menghadapi banyak dinamika.
Terkait hal itu, ada usulan agar kerangka acuan yang dibuat Komisi Hak Asasi Manusia Antarnegara ASEAN (AICHR) direvisi. Indonesia siap dengan usulan tersebut. Namun, revisi hendaknya hati-hati agar tidak membuat standar perlindungan HAM di kawasan justru semakin buruk.
”Kami berencana agar tahun depan Indonesia memiliki semacam mini Universal Periodic Review (UPR) mengenai HAM di Indonesia. Kami harap negara lain mau mencontoh,” katanya.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu Febrian Alphyanto Ruddyard menambahkan, di tingkat dunia, Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode 2019-2020 juga telah berupaya meningkatkan perlindungan HAM untuk mewujudkan demokrasi dan konsep perdamaian yang berkelanjutan.
”Konsep damai yang Indonesia tawarkan bukan hanya tidak ada perang. Berbicara perdamaian berarti juga harus bicara ekosistem penunjang lain, yaitu pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, dan perlindungan HAM,” kata Febrian.
Pengungsi Rohingya
Sementara terkait pengungsi Rohingya yang tak kunjung tuntas, Wakil Indonesia untuk AICHR Yuyun Wahyuningrum menyampaikan, Myanmar dan ASEAN perlu memastikan proses repatriasi pengungsi Rohingya berlangsung sesuai prinsip HAM, yaitu aman, sukarela, dan bermartabat.
Jika berhasil, ASEAN setidaknya akan memiliki panduan mekanisme dan standar penanganan pengungsi di kawasan.
”ASEAN akan semakin kuat. Selain itu, profil negara Myanmar dan ASEAN akan berubah karena kepercayaan masyarakat internasional bertambah. Hal ini karena isu pengungsi akan selalu ada dengan skala yang berbeda-beda,” ujarnya.