Penetapan Tarif Diselidiki KPPU
JAKARTA, KOMPAS
Dugaan praktik perdagangan tidak sehat dalam penetapan tarif penerbangan di dalam negeri diselidiki Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Proses penyelidikan tak hanya terkait tarif tiket penumpang, namun juga tarif kargo dan persoalan rangkap jabatan dari manajemen perusahaan.
KPPU tidak menetapkan batasan waktu untuk menyelesaikan penyelidikan itu.
"Pemeriksaan kasus sudah masuk ke penyelidikan," kata Komisioner KPPU Kodrat Wibowo di Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Proses penyelidikan, lanjut Kodrat, terus berkembang.
Sesuai ketentuan pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, lanjut Kodrat, seseorang tidak boleh merangkap jabatan di beberapa perusahaan yang saling bersaing.
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih menambahkan, penyelidikan soal praktik tidak sehat dalam penetapan tarif penerbangan itu berkaitan dengan pasal 5 UU Nomor 5/1999.
KPPU sudah meminta keterangan dari para pihak terkait, yaitu manajemen Lion Air Grup dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebagai perusahaan yang menguasai pangsa pasar penerbangan dalam negeri.
Pasal 5 UU No 5/1999 itu menyebutkan, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Guntur menyebutkan, KPPU menyelidiki kasus tersebut karena ada indikasi pelanggaran mengenai larangan perdagangan tidak sehat. Meski demikian, ia belum dapat memastikan kapan proses penyelidikan tersebut selesai dan dilanjutkan ke tahap persidangan.
"Penyelidikan tidak dibatasi (waktunya). Kalau tidak ditemukan bukti, penyelidikan dihentikan," katanya.
Secara terpisah, mantan Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan, dalam memeriksa kasus dugaan perdagangan tidak sehat, seperti kartel, KPPU biasanya melihat tiga faktor. Ketiga faktor itu adalah struktur pangsa pasar dari perusahaan yang diperiksa, perilaku korporasi, dan kinerja keuangan korporasi.
Sensitif
Chairman CSE Aviation Consultant, Chappy Hakim, memaparkan, biaya operasional maskapai sangat sensitif terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sebab, sekitar 95 persen komponen biaya operasional menggunakan dollar AS.
Padahal, volatilitas nilai tukar rupiah di luar kendali maskapai sehingga memengaruhi penetapan harga jual tiket.
”Penetapan tarif tiket pesawat itu melalui proses panjang dan tidak semudah yang diperkirakan publik. Biaya operasional yang dipengaruhi nilai tukar rupiah memegang peran paling penting sebagai penentu strategi dan dasar utama penetapan tarif tiket pesawat,” ujarnya.
Chappy menyebutkan, pemerintah mesti memisahkan peraturan tarif batas atas dan batas bawah untuk layanan penerbangan penuh (full service) dan penerbangan murah (low cost carrier). Tujuannya, agar jarak antarharga tidak terlalu tinggi sehingga memudahkan proses pemantauan. Aturan juga harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar rupiah.
Sementara, anggota Ombudsman RI yang juga pengamat penerbangan, Alvin Lie, menyampaikan, salah satu penyebab inefisiensi maskapai adalah penambahan armada pesawat yang melampaui pertumbuhan permintaan pasar. Akibatnya, kapasitas angkut pesawat berlebih sehingga biaya operasional maskapai tinggi.
Padahal, maskapai harus tetap membayar gaji seluruh kru, meskipun pesawat tidak terbang. Ia mencontohkan, satu pesawat Boeing atau Airbus yang berkapasitas 180 orang harus didukung sedikitnya 4 set kru yang terdiri dari 4 pilot, 4 kopilot, dan 4 awak kabin.
Alvin menambahkan, sekitar 80 persen biaya operasional maskapai digunakan untuk pembelian avtur, pengadaan dan perawatan pesawat, serta membayar pegawai. Maskapai tidak bisa lagi menghemat biaya untuk pengadaan dan perawatan pesawat. ”Di luar itu, ada biaya-biaya yang tidak bisa dikendalikan maskapai, seperti jasa bandara, jasa navigasi, dan komisi untuk agen perjalanan. Harga sewa bandara juga terus naik,” ujar Alvin. (FER/KRN)