JAKARTA, KOMPAS - Kuasa hukum Sjamsul Nursalim mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menetapkan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia itu sebagai tersangka kasus korupsi. Secara terpisah, KPK berharap, kuasa hukum Sjamsul membantu menghadirkan tersangka ke KPK agar yang bersangkutan bisa memberikan keterangan sesuai dengan yang diketahui.
KPK telah menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka. Penetapan itu merupakan pengembangan perkara mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin A Temenggung yang telah divonis hukuman 15 tahun penjara oleh pengadilan tingkat banding. Ia dinilai bersalah telah memberikan surat keterangan lunas terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 4,58 triliun. Namun, perkara ini masih dalam tahap kasasi.
Kuasa hukum Sjamsul menilai, kasus ini sudah selesai sejak 20 tahun lalu melalui penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam bentuk Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
”Penandatanganan MSAA telah dipenuhi pada 25 Mei 1999 sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah sendiri dalam surat release and discharge atau pembebasan dan pelepasan, serta akta notaris letter of statement,” ujar kuasa hukum Sjamsul, Otto Hasibuan, Rabu (19/6/2019), di Jakarta.
Inti kesepakatan dalam MSAA, lanjut Otto, adalah Sjamsul mengikatkan diri hanya untuk menanggung kewajiban BDNI yang telah disepakati bersama BPPN sebesar Rp 28,408 triliun. Jumlah ini merupakan hasil pengurangan dari aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun yang telah dibayarkan dari total kewajiban BDNI Rp 47,258 triliun.
Selanjutnya, Rp 28,408 triliun disepakati untuk diselesaikan dengan cara pembayaran tunai sebesar Rp 1 triliun dan melalui penyerahan aset berupa saham perusahaan senilai Rp 27,495 triliun.
”Apabila Sjamsul telah memenuhi kewajiban itu, pemerintah berjanji dan menjamin memberikan imunitas untuk tidak menuntut Sjamsul dalam bentuk apa pun. Termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana,” ujar Otto saat menjelaskan inti kesepakatan MSAA.
Otto menegaskan, pada 25 Mei 1999 Sjamsul memenuhi kewajibannya untuk membayar Rp 28,408 triliun. Pemenuhan kewajiban dibuktikan dengan surat release and discharge yang dipertegas melalui akta notaris letter of statement.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, pembayaran kewajiban menggunakan aset setara senilai Rp 18,85 triliun, termasuk pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Aset ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.
Namun, setelah dilakukan financial due diligence dan legal due diligence, disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi atau memberikan pernyataan yang tidak benar.
Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset ke Kementerian Keuangan yang berisi hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira, yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Pada 24 Mei 2007, PT PPA menjual hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara Rp 4,8 triliun.
Sementara itu, menurut Febri, proses penyidikan baru telah dimulai dan masih berjalan. KPK juga fokus pada pemulihan aset negara senilai Rp 4,58 triliun.