Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Pengawas Obat dan Makanan sedang menyusun sejumlah kriteria yang bisa digunakan sebagai dasar pelarangan iklan rokok di internet. Kriteria ini mendesak diselesaikan agar penindakan lebih lanjut bisa dilakukan serta tidak salah sasaran.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Pengawas Obat dan Makanan sedang menyusun sejumlah kriteria yang bisa digunakan sebagai dasar pelarangan iklan rokok di internet. Kriteria ini mendesak diselesaikan agar penindakan lebih lanjut bisa dilakukan serta tidak salah sasaran.
Berdasarkan pengaisan (crawling) terhadap iklan rokok di internet yang dilakukan tim pengais konten negatif (AIS) Kementerian Kominfo, sejak Kamis (13/6/2019) sampai Selasa (18/6/2019), sekitar 120 kanal atau alamat situs web di internet telah diblokir karena melanggar aturan terkait larangan promosi rokok. Situs ini termasuk konten yang ditemukan di media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube, dan media daring.
Hal itu disampaikan Kepala Subdirektorat Pengendalian Konten Internet Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo Anthonius Malau dalam diskusi publik bertajuk ”Iklan Rokok di Media Daring” di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Untuk sementara ini, pemblokiran yang dilakukan baru berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang mengatur larangan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.
”Kami menunggu kriteria lain dari Kementerian Kesehatan yang bisa digunakan sebagai dasar pemblokiran atas pelanggaran iklan rokok di internet. Kriteria ini diperlukan agar pemblokiran bisa dilanjutkan lebih masif dan efektif,” ujarnya.
Staf Subdirektorat Pengendalian Penyakit Paru dan Gangguan Imunologi Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Mauliate D C Gultom mengatakan, komunikasi bersama Kominfo dan Badan Pengawas Obat dan Makanan masih terus dilakukan untuk menetapkan kriteria pelanggaran iklan rokok di internet. Sejumlah peraturan telah dikaji, khususnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Pada Pasal 26 dalam aturan tesebut dinyatakan, pemerintah, termasuk pemerintah daerah, melakukan pengendalian iklan produk tembakau di media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, dan/atau luar ruang. Selanjutnya, aturan lain disebutkan dalam pada Pasal 27 tentang Pengaturan dalam Iklan Produk Tembakau dan Pasal 30 tentang Iklan di Media Teknologi Informasi yang harus memenuhi ketentuan penerapan verifikasi umur pembatasan akses pada sistus merek dagang produk tembakau.
Koordinator Kawasan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto menuturkan, upaya perlindungan dari iklan rokok di internet harus diperkuat dengan mekanisme yang jelas. Tujuannya, pemblokiran ataupun bentuk perlindungan lainnya tidak justu salah sasaran.
”Misalnya, pada artikel di salah satu website yang menuliskan tentang cara berhenti merokok atau bahaya merokok dengan memperlihatan bentuk rokok. Karena tidak ada mekanisme yang jelas, artikel yang menunjukkan bentuk rokok ini malah turut diblokir, padahal kontennya dibutuhkan masyarakat. Jadi, jangan sampai justru melanggar hak masyarakat dalam mendapatkan informasi,” katanya.
Perlindungan
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-Iakmi) Sumarjati Aryoso menuturkan, iklan rokok di internet seharusnya dilarang secara menyeluruh. Paparan iklan rokok di internet sangat berdampak buruk bagi pengguna internet, khususnya anak dan remaja.
Berdasarkan riset Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-The London School of Public Relations, sebanyak 3 dari 4 remaja mengetahui iklan rokok di media daring. Paparan iklan rokok di Youtube mencapai 80,3 persen, portal berita 58,4 persen, Instagram 57,2 persen, dan permainan daring 36,4 persen. Adapun penelitian oleh Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia menunjukkan, 45,7 persen remaja usia di bawah 18 tahun terpapar iklan rokok melalui internet.
”Jika tidak dihentikan, dampak iklan rokok ini bisa semakin menambah prevalensi perokok pemula dengan usia anak dan remaja. Prevalensi saat ini untuk perokok anak usia 10-18 tahun yang mencapai 9,1 persen harusnya sudah disadari sebagai cerminan buruk upaya pengendalian rokok di Indonesia,” ujarnya.