Balai Arkeologi Sumatera Selatan mengidentifikasi Prasasti Baturaja yang ditemukan September 2018 memuat kutukan bagi pengkhianat dan pemberontak pada masa Kerajaan Sriwijaya. Sebagian besar prasasti kutukan ditempatkan di daerah ekonomi strategis untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah raja.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Balai Arkeologi Sumatera Selatan mengidentifikasi Prasasti Baturaja yang ditemukan September 2018 memuat kutukan bagi pengkhianat dan pemberontak pada masa Kerajaan Sriwijaya. Sebagian besar prasasti kutukan ditempatkan di daerah ekonomi strategis untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah raja.
Peneliti Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Wahyu Rizky Andhifani, Rabu (19/6/2019), di Palembang, mengatakan, Prasasti Baturaja ditemukan di tangan salah satu kolektor, yakni Amiril Mukmin. ”Dia adalah kolektor ketiga yang memegang prasasti tersebut,” katanya.
Dari segi bentuk, prasasti ini merupakan patahan, bagian atas dan bawahnya sudah tidak ada lagi. Kemungkinan bentuknya mirip dengan Prasasti Kota Kapur.
Tinggi prasasti sekitar 24 sentimeter (cm), lebar bagian atas 26 cm, dan lebar bagian bawah 20 cm. Bagian atas diameternya 19 cm, sedangkan bagian bawah ada dua, yaitu 14 cm dan 9,5 cm. Lingkaran prasasti 67 cm.
Belum diketahui pasti asal prasasti tersebut. Namun, menurut Wahyu, prasasti yang terbuat dari batu pasir ini kemungkinan berasal dari Sungai Komering. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuna. Apabila dilihat dari tulisan tersebut, kemungkinan ditulis pada abad ke-7.
Setelah diidentifikasi, ungkap Wahyu, Prasasti Baturaja berisi tentang kutukan kepada pemberontak atau pengkhianat kerajaan. Di dalam prasasti diceritakan adanya tawaran dari Kerajaan Sriwijaya kepada para pemberontak.
Isinya adalah mengajak pemberontak untuk patuh kepada kerajaan dan akan diangkat menjadi datuk di wilayah itu. Sebaliknya, jika tidak bersedia, mereka akan mendapatkan kutukan menjadi sakit atau hilang kepintaran.
Isinya mengajak pemberontak patuh kepada kerajaan dan akan diangkat menjadi datuk di wilayah itu. Jika tidak bersedia, mereka akan mendapatkan kutukan menjadi sakit atau hilang kepintaran.
Meski begitu, Wahyu mengakui, belum jelas waktu tepat prasasti ini ditulis. Jika Prasasti Baturaja lebih dulu ditulis dibandingkan Prasasti Kedukan Bukit, bisa jadi pemberontakan terjadi sebelum Dapunta Hyang, pendiri Sriwijaya, bertolak dari Minanga menuju Mukha Upang dengan membawa puluhan ribu tentara lengkap dan perbekalan.
Kemungkinan lain, pemberontakan terjadi setelah Dapunta Hyang tiba di Mukha Upang dan akhirnya kembali ke Minanga. ”Segala kemungkinan bisa terjadi,” katanya.
Wahyu mengatakan, prasasti ini menambah tujuh prasasti kutukan yang sudah ditemukan, yakni prasasti Karang Berahi, Telaga Batu, Kota Kapur, Boom Baru, Bukit Seguntang, Palas Pasemah, dan Bungkuk. Dari delapan prasasti yang ditemukan, tujuh prasasti kutukan ditujukan kepada pemberontak, sedangkan Prasasti Telaga Batu khusus ditujukan ke birokrat pemerintahan.
Demokratis
Di sisi lain, Wahyu berpendapat, dari Prasasti Baturaja dapat disimpulkan Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang demokratis dan cakap dalam hal bermusyawarah dan bermufakat. Hal ini terbukti, mereka dapat merangkul para pemberontak dan akhirnya mampu bertahan hingga abad ke-14.
Peneliti Balai Arkeologi Sumsel, Retno Purwanti, menambahkan, sekitar 90 persen prasasti pada zaman Kerajaan Sriwijaya berisikan mengenai kutukan raja. Tujuannya agar masyarakat tunduk pada perintah raja.
Selain itu, prasasti ini terletak di lokasi yang memiliki komoditas strategis, seperti emas, damar, rotan, atau komoditas beraroma yang saat itu sangat berharga. Retno mengatakan, artefak termasuk prasasti zaman Sriwijaya kebanyakan berasal dari tepi sungai. Prasasti ditemukan di Bangka, Jambi, Lampung, dan Sumsel.
”Hal ini menandakan, memang Sriwijaya merupakan kerajaan yang kuat dari sisi kemaritimannya,” katanya.
Hal ini menandakan, memang Sriwijaya merupakan kerajaan yang kuat dari sisi kemaritimannya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Muhammad Ikhsan, menuturkan, belum ada kajian khusus mengenai sejarah hukum di masa Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, dari sejumlah prasasti yang ditemukan, bisa tergambar bahwa hukum pada zaman Sriwijaya menekankan pada perspektif hukum positif.
Perspektif hukum itu berarti semua hukum didasari atas perintah manusia, dalam hal ini raja. ”Hukum saat itu tidak didasari atau nilai ketuhanan atau nilai moral yang muncul di masyarakat,” katanya.
Ikhsan menuturkan falsafah positivisme hukum ini hanya terjadi padazaman Kerajaan Sriwijaya dan tidak berlanjut ke masa kerajaan atau kesultanan Palembang. Pada zaman itu, memberikan petuah atau ancaman kepada pengkhianat atau pemberontak menjadi cara jitu menekan gejolak di dalam kerajaan sehingga Sriwijaya dengan lebih mudah memperluas kerajaannya.