emerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah terus mempromosikan kedelai lokal, yakni varietas Grobogan. Meski harganya lebih mahal, varietas unggul nasional itu dinilai jauh lebih berkualitas dari kedelai impor yang merupakan hasil rekayasa genetika atau GMO.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
PURWODADI, KOMPAS - Pemerintah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah terus mempromosikan kedelai lokal, yakni varietas Grobogan. Meski harganya lebih mahal, varietas unggul nasional itu dinilai jauh lebih berkualitas dari kedelai impor yang merupakan hasil rekayasa genetika atau GMO.
Kepala Dinas Pertanian Grobogan, Edhie Sudaryanto, di Purwodadi, Grobogan, Rabu (19/6/2019), mengatakan, saat ini, kebutuhan kedelai nasional memang masih bergantung pada kedelai impor, dari Amerika Serikat dan Brasil. Di sisi lain, promosi akan keunggulan varietas lokal amat kurang.
Upaya promosi itu bukan hal mudah. Tahu dan tempe yang banyak beredar di pasar saat ini, misalnya, yang berbahan baku impor. "Bukan soal aman atau tak aman, tetapi perlu edukasi bagi masyarakat bahwa ada produk lain yang bersumber dari kedelai lokal. Nanti tinggal masyarakat yang memilih," katanya.
Bukan soal aman atau tak aman, tetapi perlu edukasi bagi masyarakat bahwa ada produk lain yang bersumber dari kedelai lokal. Nanti tinggal masyarakat yang memilih
Kedelai varietas Grobogan merupakan pemurnian populasi lokal Malabar Grobogan. Dengan kandungan protein 43,9 persen, varietas itu beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan seperti pada musim hujan dan daerah beririgasi baik. Sifat-sifatnya antara lain polong masak tak mudah pecah dan daun luruh 95-100 persen saat panen.
Menurut Edhie, dari fisik, warna kedelai varietas Grobogan cenderung lebih terang dari kedelai impor. Itu antara lain karena langsung diolah begitu selesai dipanen. Berbeda dengan kedelai impor yang telah disimpan lama, karena harus melalui perjalanan jauh sebelum sampai di Indonesia.
Upaya yang dilakukan untuk menggenjot produksi kedelai Grobogan yakni dengan menyiapkan kebutuhan benih. "Selain itu, kami dorong kemampuan petani agar optimal. Di Grobogan, total ada sekitar 12,5 hektar kebun percontohan untuk kedelai varietas Grobogan," katanya.
Adapun realisasi bantuan benih bagi petani pada 2018 yakni seluas 9.000 hektar. Namun, salah satu kendala yang dihadapi yakni musim kering yang melanda. Lantaran harus ada ketersediaan air yang cukup, produksi belum optimal.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47 Tahun 2017, harga acuan pembelian di petani untuk kedelai lokal yakni Rp 8.500 per kg, sedangkan kedelai impor Rp 6.550 per kg. "Namun, harga tersebut tak tercapai karena pada akhirnya mengikuti harga kedelai impor," ujar Edhie.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Grobogan, Imam Sudigdo, menambahkan, petani lebih tertarik pada komoditas jagung. Itu antara lain karena harganya yang lebih tinggi, karena adanya permintaan pasar. Karena itu, kepastian pasar perlu diupayakan.
Rumah Kedelai Grobogan
Upaya Pemkab Grobogan untuk terus mengangkat kedelai varietas Grobogan yakni melalui Rumah Kedelai Grobogan yang didirikan 2015. Fasilitas yang tersedia di RKG yakni sentra pembenihan, sentra pembelajaran, sentra promosi, rumah tahu hygiena, rumah tempe hygiena, dan restoran.
Lantaran beragam tantangan yang ada, harapan Edhie tak muluk-muluk. "Kami berharap daerah lain memiliki rumah kedelai, seperti di Lamongan (Jawa Timur) yang juga sudah ada. Dengan demikian, semakin banyak yang membeli hasil panen petani. Yang penting, semakin banyak yang menanam varietas lokal," kata dia.
Petugas produksi di rumah tahu hygiena RKG, Edy Suharno, mengemukakan, dalam sehari, sekitar 15 kg kedelai diproduksi menjadi tahu. Dengan sistem pengolahan yang higienis, satu kemasan tahu, berisi enam potong, dihargai Rp 6.000. Dengan jumlah yang sama, harga tahu di pasar, yang menggunakan kedelai impor, seharga Rp 3.000.
Abdul Chayyi (69), Ketua Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Curug, Grobogan, mengatakan, dirinya juga pernah mencoba menanam kedelai. "Namun, gagal karena kurangnya pasokan air. Tidak semua daerah cocok, jadi saya memilih menanam padi saja. Untuk bantuan benih, perlu diperhatikan daerah mana yang memiliki cukup air dan mana yang tidak," kata Abdul.