Amurang, Menua dan Terlupakan
Benteng Amurang di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, merupakan saksi sejarah ketenaran rempah-rempah Nusantara yang diperebutkan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Pasar Amurang masih ramai, Jumat (24/5/2019) siang. Di bawah teduh terpal dan atap seng semipermanen bercagak kayu, pedagang menjajakan ikan, daging, dan sayuran. Beberapa lainnya menjual pakaian di meja lapak.
Lima langkah di luar pasar berdiri bangunan dari batu bertuliskan ”Benteng Amurang” di atasnya. Gerbang pagar besi berkarat yang mengurungnya digembok dengan rantai berbalut kain. Roda-roda pagar rusak, digantikan batu untuk memastikannya tetap berdiri.
”Ngana mo masuk? Coba pigi cari (tukang) ojek di Sakura Mart, depe nama Bernard Rumondor,” kata seorang pedagang di seberang pagar.
Di Sakura Mart, Jalan Trans-Sulawesi, Bernard (55), penjaga sekaligus pemandu wisata Benteng Amurang sejak 1996, baru saja mengantar pelanggan. Ia minta izin kembali ke rumahnya untuk mengambil buku tamu dan catatan.
”Pagi sampai siang, saya datang ke sini untuk bersih-bersih saja, lalu lanjut ojek. Di sini sangat jarang ada pengunjung, tetapi saya tetap harus layani kalau ada tamu,” kata Bernard sesampainya di benteng. Benteng Amurang berbentuk setengah lingkaran menyerupai huruf D dengan diameter 30 meter. Panjang lengkungannya sekitar 60 meter dengan tinggi 2-3 meter.
Benteng Amurang dibangun pada 1512 atas inisiatif panglima armada Portugis Fransisco da Sa. Armada Portugis tiba di tanah Minahasa dalam pencarian rempah-rempah dan menguasai daerah itu. Benteng itu dibangun memanjang dari pesisir Amurang hingga Kawangkoan Bawah guna melindungi wilayah itu dari musuh yang datang dari Laut Sulawesi.
Benteng dibangun menggunakan bahan dasar batu karang. ”Batu karang ditumbuk kemudian direkatkan dengan putih telur burung maleo. Saat itu, populasi burung maleo yang asli Sulawesi masih banyak di pesisir Amurang,” kata Bernard. Di dekat benteng, dibangun pula Pelabuhan Amurang. Rempah-rempah dan kopra dikirim melalui jalur perdagangan yang terhubung ke Ternate, Banda, dan Ambon di Maluku (Kompas, 20 Agustus 2014).
Pada 1600, benteng ini direbut Spanyol yang datang dari Filipina. Suku-suku Minahasa dari Tonsawang, Tontemboan, dan Tombasian memukul mundur Spanyol pada 1645, tetapi Spanyol segera merebut kembali kekuasaan.
Pada 1660, kekuasaan di Minahasa diambil alih Belanda melalui kehadiran Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC). Benteng itu tak pernah digunakan VOC karena telah hancur akibat perang, tersisa yang kini berdiri di Pesisir Amurang.
Cagar budaya
Benteng Amurang—yang populer disebut Benteng Portugis—kerusakannya kini telah ditambal dengan batu-batu alam biasa. Nilai sejarahnya menjadikan Benteng Amurang cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo. Namun, hal itu tak lantas membuat Benteng Amurang menjadi pusat perhatian.
Pintu untuk masuk ke dalam benteng ditutup permanen sehingga isi benteng tidak dapat diketahui. Lubang-lubang yang tersisa di dinding benteng kini menjadi sarang ular. Bekas kulit ular masih menyangkut di tembok. ”Ada dua ekor yang tinggal di sini,” kata Bernard.
Kini, benteng itu dipisahkan dari bangunan di depan, samping, dan belakang oleh tembok. Padahal, dahulu area benteng jauh lebih luas mencakup berbagai bangunan tersebut. Kini, benteng yang tersisa seluas 330 meter persegi, berdiri di lahan seluas 450 meter persegi.
”Area benteng dulu memanjang hingga Jalan Boulevard di utara sampai Gereja Syalom Sentrum Amurang di selatan. Sekarang, sebagian bangunan itu ada yang sudah dijual kepada masyarakat, dijadikan kantor lurah, bea cukai, dan dinas kesehatan kabupaten,” kata Bernard.
Adapun rumah tahanan (rutan) benteng yang terletak tepat di belakang difungsikan sebagai Rutan Amurang sampai beberapa tahun lalu. Setelah rutan dipindahkan ke lokasi lain, bangunan itu dialihfungsikan menjadi koperasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Benteng semakin terbenam dengan keberadaan pasar dan berbagai bangunan baru. Pandangan ke utara tak lagi jauh ke laut layaknya bagi prajurit yang berjaga lima abad lalu, tetapi terhalang atap-atap seng.
Tidak ada teks penjelasan tentang benteng, apalagi museum penyimpan artefak atau diorama, seperti di Benteng Vredeburg Yogyakarta atau Benteng Rotterdam Makassar. Sembilan meriam kuno di atas benteng juga telah dipindahkan ke Tondano, Manado, dan sejumlah daerah lain.
Pemugaran
Benteng itu akan dipugar dan meriamnya akan dikembalikan. Rutan akan dijadikan bagian dari benteng sekaligus sebagai pintu masuk. Pasar dan berbagai bangunan di sekitarnya akan ditutup dan dipindahkan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Minahasa Selatan Frenky Toar menyatakan, rencana pemugaran itu masih terkendala kepemilikan lahan sekitar benteng. ”Ibu Bupati (Christiany Paruntu) meminta agar lahan benteng dikembalikan seperti awal. Masalahnya, itu milik masyarakat, entah siapa yang melakukan transaksi,” katanya, Rabu (29/5).
Pihaknya juga berencana menukarkan tanah aset pemerintah kabupaten dengan eks Rutan Amurang yang kini menjadi koperasi. Dengan demikian, benteng dan penjara tua yang sarat nilai sejarah itu bisa dijadikan tempat wisata ikonik bagi Minahasa Selatan.
”Di bawah benteng itu, disebut-sebut juga ada terowongan yang menghubungkan dengan penjara. Namun, ada kabar bahwa terowongan itu sudah digunakan sebagai tangki septik oleh masyarakat sekitar benteng. Jadi, memang harus ada pemugaran dan pembebasan lahan,” kata Frenky.
Kendati begitu, pihaknya harus berkoordinasi dengan BPCB Gorontalo sebelum mengambil langkah pemugaran. Frenky mengatakan, pihaknya sudah menyurati Kepala BPCB.
Di lain pihak, Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Gorontalo Rosalina Rambung menyatakan, belum ada surat terkait pemugaran dari Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Ia juga mengatakan, benteng sudah tidak mungkin dipugar ataupun direkonstruksi ulang, sementara penataan ulang juga terhalang masalah lahan.
”Lahan yang ada sekarang terlalu sempit. Tidak ada zona pengembangan ataupun zona penyangga. Kami juga bingung mau ngapain dengan benteng ini,” kata Rosalina. Ia menambahkan, yang bisa dilakukan pihaknya sekarang adalah mempertahankan yang ada sebagai bukti di lokasi itu pernah berdiri Benteng Amurang.
Nasib Benteng Amurang masih tidak menentu. Waktu terus berganti, sementara Benteng Amurang terus menua dan boleh jadi bakal terlupakan.